Tubuhku limbung tak berdaya. Dengan tertatih, aku mencoba berjalan gontai menyusuri panjang hamparan jalan raya di depan mata. Sesekali aku renungi kesalahan yang telah kuperbuat, sambil sesekali pula menertawai pilihan bodoh yang sudah kuambil. Di kepala, masih ada kunang-kunang yang menelusuri setiap pijak setapak jejak kenangan. Merayakan kehilangan, menangisi kematian. Kunang-kunang itu terus-terusan menggerogoti alam pikiran, merasuki jiwaku yang acap melayang menerawang apa saja yang kelak bisa terjadi di hari mendatang. Segerombolan pertanyaan seketika merasuk di sela-sela ruang kecil di dalam kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang entah dari mana datangnya, yang tiba-tiba saja pertanyaan-pertanyaan itu berkelindan tanpa pernah kuketahui muasalnya. Tiba-tiba saja ....
Saat aku mati, barangkali itulah saat semua orang akan tahu siapa aku sebenarnya. Bukan lagi sebagai Prita Hapsari. Bukan pula sebagai kembang desa yang diidam-idamkan semua lelaki.
Saat aku mati, aku tidak tahu apakah yang terjadi setelahnya bisa benar-benar aku rasakan, sama seperti halnya ketika aku masih dikatakan bernapas di dunia.
Saat aku mati, apakah semuanya benar-benar ikut pula mati: tumpukan kenangan yang semakin menggunung, luka-luka yang semakin tak terkontrol, juga rahasia-rahasia yang berusaha aku sembunyikan selama ini?
Dan yang terpenting, saat aku mati nanti, masihkah ada yang sudi untuk mengubur seorang pendosa sepertiku?
***