Hidup adalah persinggahan, sekaligus perjalanan menuju tujuan terakhir: kematian. Ketika aku hidup, saat itu pula aku terus berusaha mencari-cari jalan untuk menuju tempat terbaik setelah kematian yang selama ini selalu kupercayai. Sebagaimana yang juga pernah aku dengar di sebuah surau kecil kampung selepas melaksanakan salat Magrib. Awalnya, aku hanya tersenyum kecil kala mendengarnya. Mungkin benar, manusia hidup hanya untuk kembali. Yang datang akan segera pergi dan yang pergi akan segera kembali. Seperti sebuah siklus, maka begitulah kehidupan menurut sudut pandangku. Memang benar, manusia hidup untuk berlomba-lomba mencari jalan terbaik. Memang benar, manusia hidup hanya untuk menghabiskan sisa waktunya yang sudah ditakdirkan dengan bepergian ke sana kemari. Namun, dari semua kebenaran itu, ada sebuah kesalahan yang muncul langsung di kepalaku. Bahwa, dari semua hal yang dianggap benar oleh para manusia di dunia, tidaklah semuanya benar-benar sebuah kebenaran yang hakiki dan murni. Manusia lahir, tumbuh, hingga seiring berjalannya waktu akan dibesarkan dengan sebuah kesalahan-kesalahan. Awalnya, aku tidak mengerti dengan apa yang ada di jalan pikiranku saat itu. Sampai akhirnya di satu titik, pelan-pelan aku mulai paham akan kebenaran itu. Kehidupan, kematian, dan kesalahan adalah tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain.
***
Pos ronda yang berdiri di dekat portal masuk Kampung Wonorejo mendadak diramaikan oleh kedatangan dua orang pemuda. Padahal, malam ini yang bertugas menjaga keamanan hanyalah Rudi Samad dan Mukidi. Namun, dua orang pemuda tadi: Suakib dan Badrun, yang semula malas-malasan ketika kena jatah ronda tiba-tiba saja datang ke pos jaga tanpa ada kabar angin sebelumnya.
“Waduh, ada apa ini. Enggak ada angin, enggak ada hujan ....”
Belum selesai Rudi Samad bicara, cepat-cepat Suakib menyela. “Lagi pengin cari udara segar aja.”
Rudi Samad lantas tak begitu saja percaya dengan jawaban sang lawan bicara. “Enggak mungkin, pasti ada udang di balik bakwan.”
Badrun yang sedari tadi hanya diam di sisi Suakib, tak menghiraukan pernyataan Rudi Samad dan langsung to the point ke arah Mukidi, sang kepala desa. “Begini, Pak Kades, dengar-dengar ada warga baru yang tinggal di kampung kita, ya?”
“Nah, kan, sudah kuduga,” celetuk Rudi Samad, seolah membenarkan terkaannya, bahwa kehadiran Suakib dan Mukidi malam ini pasti ada maunya. Tak akan ada asap kalau tidak ada api, maka begitu Rudi Samad tadi berpikir tentang kedatangan kedua orang pemuda yang selama ini terkenal malas di kampung mereka tersebut.
“Betul. Namanya Prita Hapsari,” jawab Mukidi singkat.
“Cantik enggak?” imbuh Badrun, lelaki beristri namun belum memiliki keturunan di usia pernikahannya yang kesepuluh. Sepertinya Badrun benar-benar penasaran. Sebab, baru siang tadi perempuan bernama Prita yang pindah dari kota itu tinggal di kampung mereka, tetapi beritanya bahkan sudah sampai ke kampung tetangga.
“Dari namanya aja udah kelihatan ayu, Drun,” sela Suakib, pemuda pengangguran yang hobi nongkrong di warung Siti, janda beranak satu, yang berada tak jauh dari Masjid Baitullah.
Mendengar dialog-dialog yang ditujukan pada sang kepala desa, Rudi Samad hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kalian ini, tahu ada perempuan cantik di kampung kita aja langsung getol cari info. Giliran disuruh ikut pengajian, hilang batang hidungnya.”
Suakib dan Badrun cuma bisa mesem-mesem menahan rasa malu.
“Kalau dibilang cantik, ya, cantik, lah. Namanya juga perempuan. Cocok kalau buat dijadikan Bu Kades,” seloroh Mukidi sembari mengerling ke arah kedua warga desanya tersebut.
“Waduh, bisa kalah saing kita, Drun,” ujar Suakib pada Badrun. Mereka sepertinya hampir lupa kalau Mukidi juga punya peluang yang sama untuk mendapatkan hati Prita yang menurut desas-desus ayunya elegan. Seperti sosialita di televisi. Pasalnya, Mukidi merupakan duda tanpa anak yang ditinggal mati sang istri lima tahun silam. Jika dibandingkan Mukidi, Suakib yang seorang pengangguran atau Badrun yang sudah berstatus suami orang, tentu bakal kalah saing. Kalah telak. Ditambah embel-embel kalau Mukidi adalah seorang kepala desa dan memiliki beberapa petak sawah di Kampung Wonorejo.
“Sebelum janur kuning melengkung, kita masih punya kesempatan yang sama, Kib. Yang namanya jodoh, kan, enggak ada yang tahu,” sanggah Badrun.
“Tapi, menurutku .... Ini menurutku, loh, ya. Yang namanya perempuan, apalagi yang katanya ayu, tentu bakal pilih-pilih pasangan. Bukan matre, sih, lebih tepatnya realistis. Mikirin masa depan. Kalau lihat laki-laki itu biasanya selain dari rupa dan harta, ya, dari agamanya.” Rudi Samad akhirnya ikut nimbrung setelah beberapa saat lalu ia sempat menyesap beberapa teguk kopi hangat dari dalam tumbler miliknya. Sengaja ia membawa bekal kopi, karena selain agar tak mengantuk, ia juga sudah menganggap bahwa kopi adalah karib yang tak bisa ia tinggalkan saban malam. “Kalau rupa dan harta, cukup kalian berdua saja yang bisa menilai diri kalian sendiri. Kalau agama, datang ke masjid seminggu sekali aja kalian berdua masih ogah-ogahan. Lalu, apa yang mau dibanggakan di depan Prita?” kelakar Rudi Samad. “Makanya, mulai sekarang kalian berdua rajin-rajin ke masjid. Salat berjemaah, ikut pengajian. Biar mantap.”