Aku masih ingat bagaimana dulu aku kecil, tumbuh, dan dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Mereka—orang-orang terdekatku—pikir, situasi saat itu adalah hal biasa. Padahal, tahun-tahun itu, di tempurung kepalaku terus berkutat perihal bagaimana caranya untuk bisa cepat mati. Aku bahkan menyusun setiap cara untuk mati di buku harianku. Cara pertama, kedua, atau bahkan cara kesekian yang tidak aku ketahui lagi berapa banyak jumlahnya.
Yang aku tahu, semuanya bertujuan agar aku cepat mati. Cara untuk memanggil Malaikat Izrail, meski sejujurnya aku masih takut mati. Ya, kematian ... yang kupercayai akan ada kehidupan kekal setelahnya.
Mungkin itu terdengar konyol. Bagaimana manusia sepertiku memikirkan perihal hidup dan mati dalam bersamaan. Memikirkan perkara bagaimana manusia lahir lalu kembali kepada Sang Pencipta dalam sekali waktu. Namun, di kepalaku, seringkali muncul kunang-kunang yang membawaku pada hal-hal yang terpaksa kembali aku kenang. Dan semuanya berujung pada satu tujuan yaitu kematian!
***
Mukidi tahu kalau Prita telah menjadi buah bibir sekaligus kembang desa. Apalagi setelah perbincangannya malam tadi dengan Suakib dan Badrun. Itu semakin mengukuhkan bahwa Prita memang memiliki daya pikatnya sendiri. Padahal Suakib dan Badrun saja belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri tentang bagaimana ayunya si Prita. Tapi, namanya juga kampung kecil, Mukidi mafhum mengenai kabar yang mudah saja menyebar. Ibarat bunga ilalang yang ditiup angin, seketika terbang dan tumbuh ke sepenjuru negeri.
Sejujurnya, menurut Mukidi, Prita memang merupakan tipe pasangan ideal yang pas untuk menggantikan sosok almarhumah sang istri. Namun, Prita yang seorang tunawicara, tentu akan menyulitkan jika seandainya ia benar-benar menjadi seorang ‘Bu Kades’, perempuan nomor satu di Kampung Wonorejo. Dalam banyak hal, seorang istri kepala desa akan kerap dituntut banyak bicara dan mewakili aspirasi para ibu-ibu di kampung yang ia pimpin. Hal itulah yang kemudian membuat Mukidi maju-mundur dalam menentukan keputusannya untuk mengungkapkan perasaan pada warga barunya tersebut atau tidak. Semakin lama roda putaran waktu bergerak, maka ia yakin akan semakin banyak para pesaing yang bermunculan. Walau perkara umur, bukanlah perkara besar bagi seorang Mukidi. Dirinya dan Prita hanyalah terpaut usia sepuluh tahun saja. Apalagi di televisi, Mukidi acap menonton berita yang juga menyiarkan mengenai pernikahan yang bahkan memiliki selisih usia setengah abad. Makin percayalah ia kalau cinta itu memang buta, tak memandang batas usia.
“Sayang sekali kamu bisu, Prita,” gumam Mukidi yang tengah menyesap kopi racikannya di beranda rumah yang mengarah ke barat.
Di bale-bale yang kini ia duduki itulah dulu ia kali pertama bertatap muka dengan Prita. Awalnya, Mukidi mengira bahwa Prita adalah salah satu sales asuransi atau rokok kretek yang memang kerap bertandang. Apalagi dari penampilannya yang ayu, perempuan dua puluh delapan tahun itu sama sekali tak terlihat seperti orang kampung. Pakaiannya rapi, kepala ditutup kerudung, juga wajah dipulas mekap. Mukidi masih ingat benar bagaimana warna lipstik yang dipulaskan di bibir Prita kala itu. Persis gurat langit senja yang acap Mukidi pandangi saban sore dari teras rumahnya.
Dengan Pak Kades?
Begitu tulisan yang tertera di selembar kertas yang disodorkan Prita pada Mukidi kala itu.