Banyak orang bilang, salah satu hal menyakitkan dalam hidup adalah menjadi asing. Hilang seperti orang yang tak tahu arah jalan pulang. Lenyap seperti orang yang tak lagi bisa bangun saat terlelap. Dan salah satu dari mereka yang mengatakan hal tersebut adalah ibuku. Katanya, seseorang bisa terluka karena irisan benda tajam dan bisa sakit hati karena putus cinta. Namun, dari dua hal itu, tidak akan ada yang bisa menandingi bagaimana rasanya menjadi asing. Sebab, menjadi asing adalah jalan menuju kematian!
Aku masih ingat ketika ibu mengatakan itu. Saat itu usiaku baru saja menginjak angka lima belas. Dalam satu anggukan yang keras, aku bilang sama ibu, “Barangkali saat ini aku sedang menjadi asing, Bu. Aku sedang menuju kematian. Atau, kematian sendiri yang sedang menuju kepadaku.”
Ibu hanya diam dengan raut wajah datar. Matanya menatapku lamat-lamat. Penuh kekhawatiran. Selang beberapa detik dari jawabanku, ibu hanya mengatakan bahwa memang begitulah hidup: kadang aneh dan kadang tidak sejalan dengan apa yang kita mau. Ibu mungkin benar, tapi hidup terlalu berlebihan. Rasanya, hidup terlalu jauh berada dari poros kebahagiaan. Bayangkan saja, aku seperti menjadi asing di dalam keluarga yang seharusnya jadi tempat pulang ternyaman.
Waktu itu, pembicaraan kami terhenti ketika aku selesai menjawab kembali perkataan ibu. “Harusnya hidup tidak terus-terusan berlagak aneh, Bu!”
***
Di dalam rumah Prita yang sederhana dan berdinding gedhek, sekelompok ibu-ibu sudah berkumpul. Tanpa dikomando, mereka seolah sepakat mengenakan seragam serba hitam. Pasalnya, si pemilik rumah, Prita Hapsari, pagi tadi tiba-tiba meninggal dunia saat salat Subuh di masjid kampung. Saat itu imam sudah memberi perintah untuk duduk takhiyat akhir dengan seruan ‘Allahu Akbar’. Namun, Prita yang berada di saf paling belakang—yang merupakan tempat favoritnya menjadi makmum selama ini—tak kunjung bangkit dari sujudnya. Membuat Bu Maemunah yang berada tepat di sebelah Prita agak gelisah.
Kala itu Bu Maemunah ingin menggoyang-goyangkan tubuh Prita yang masih dalam posisi sujud. Perempuan pemilik warung kelontong yang tak jauh dari masjid itu menganggap kalau barangkali Prita ketiduran saking ngantuknya. Namun, niatan Bu Maemunah itu urung ia lakukan. Sebab, ia tak terlalu paham apakah tindakannya kemudian justru malah membuat salat Subuhnya yang sudah mendekati titik akhir akan menjadi batal. Maka, sepanjang bacaan takhiyat akhirnya itulah, Bu Maemunah tampak gelisah. Pikirannya yang macam-macam mengenai Prita tiba-tiba melintas sekelebatan. Bergelayut dan menari-nari.
Syukurlah, sesaat kemudian terdengar suara imam mengucap salam. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Buru-buru Bu Maemunah melancarkan aksinya. Menggoyang-goyangkan tubuh Prita yang masih setia pada sujudnya yang terbilang amat panjang.
“Mbak Prita, bangun, Mbak.”
Bruk! Tubuh Prita mendadak tergeletak di atas sajadah. Membuat beberapa ibu-ibu yang melihat kejadian itu ikut-ikutan panik. Seorang ibu-ibu dengan cekatan memeriksa urat nadi di leher Prita yang masih hangat. Namun nihil, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
“Innalillahi wainnaillaihi rajiun,” ucap ibu-ibu tadi, disusul seruan para jemaah perempuan lainnya yang seketika mengundang keingintahuan para bapak-bapak yang tengah khusyuk berzikir di saf-saf paling depan, di balik kain hijau pembatas yang sudah lusuh dan lama tak pernah disentuh deterjen.
“Nyesel aku dulu pernah enggak suka sama Prita,” ujar seorang ibu-ibu pelayat berbadan gempal dan mengenakan gamis berwarna gelap.