MAYIT

Aldi A.
Chapter #5

EMPAT

Bisa dibilang, tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga tak harmonis adalah salah satu alasan mengapa aku menjadi seperti ini. Di usia yang masih terbilang belia, teriakan-teriakan dari mereka—orang-orang yang seharusnya menjadi tempat paling tenang—telah berhasil membentuk diriku yang sekarang. Orang-orang mungkin bilang, tak akan ada yang bisa mengubah diri seseorang selain diri orang itu sendiri. Itu ada benarnya, tapi tak seutuhnya benar. Kadang-kadang, seseorang bisa merasa jatuh sejatuh-jatuhnya sampai tiba di titik paling bawah. Titik di mana ia merasa bahwa menjadi diri sendiri tidaklah cukup untuk bertahan hidup. Maka, beginilah aku pada akhirnya. Memberanikan diri keluar dari jalur yang sudah aku (paksa) bentuk sedemikian rupa.

Bapak, ibu, Mala—kakak perempuanku—mungkin merasa bahwa perubahanku adalah sebuah kesalahan besar dalam keluarga kami. Apalagi bapak. Berkali-kali bapak bilang, aku hanyalah anak yang bisanya cuma bikin malu keluarga. Tak pernah membanggakan mereka. Bahkan menceritakan soal aku dibesarkan di keluarga itu saja mereka tak pernah. Saking malunya, barangkali!

Aku masih ingat satu kejadian yang masih setia berkelindan di kepalaku. Saat bagaimana bapak begitu marah besar lantaran melihatku berdandan dengan mekap menor milik Mala, padahal usiaku masih menginjak angka lima belas. Waktu itu, kemarahan bapak sudah berada di puncak ubun-ubun. Membara dan tak bisa lagi bapak bendung. Kedua pipiku ditamparnya habis-habisan hingga membuat ujung bibirku mengeluarkan sedikit darah. Mala sempat membantuku, tapi apalah daya, tenaga bapak jauh lebih besar ketimbang kami berdua. Mala terperosok tak berdaya di atas tegel rumah setelah ia berusaha untuk menahan amukan bapak. Ia menangis, memohon-mohon kepada bapak agar pukulannya tak lagi melayang di tubuhku. Aku saat itu hanya menatap lekat Mala dengan gelengan kepala kecil, mengodenya agar tetap diam saja di sana. Tak perlu repot-repot membantuku. Sebab, tak ada yang lebih layak disakiti selain aku di rumah ini, pikirku waktu itu.

Selang beberapa detik dari terjatuhnya Mala, aku memilih lari, minggat dari rumah. Mencoba meninggalkan tumpukan sesak yang kudapat dari mereka, orang-orang yang seharusnya menjadi tempat pulang ternyaman. Hingga berujung pada pertemuanku dengan pemuda kampung berusia awal dua puluhan bernama Pras. Setidaknya begitu aku memanggilnya.

Kupikir, inilah saatnya hidup baruku dimulai. Kupikir, inilah saatnya semua akan berubah. Kupikir, dari Praslah aku akan mendapat kebahagiaan yang selama ini aku cari.

Kupikir ... kupikir … kupikir ….

***

Bu Maemunah duduk di dalam warung kelontong miliknya. Pikirannya seolah sedang bergelayut, mencari-cari jawaban perihal apa yang mengganjal dalam tempurung kepalanya beberapa hari ini.

“Kok aku jadi kangen, ya, sama anak itu.” Bu Maemunah berujar sendirian. Siang-siang begini, warung kelontong miliknya memang terbilang sepi. Hanya ada satu atau dua orang dengan rentang waktu yang cukup lama bertandang ke warungnya. Berbeda dengan di waktu pagi atau sore menjelang Magrib. Warungnya pasti bakal dikerumuni para ibu-ibu yang asyik bergosip tentang pemberitaan artis di teve atau sekadar membicarakan masakan apa yang mereka buat hari ini. Tak jarang anak-anak mereka juga ikut berkumpul di sela-sela gosip hangat yang sudah keluar dari mulut ibu-ibu mereka. Sekadar meminta jajan lima ratus perak atau meminta diperbaiki celana mereka yang sudah melorot menyentuh mata kaki.

“Ya, Gusti! Aku kok jadi kepikiran sama anak itu, ya.”

Bu Maemunah terlempar pada kenangan dirinya bersama seorang anak Kampung Wonorejo bernama Murtadi. Dulu, Murtadi kerap berkunjung ke Warung Bu Maemunah. Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang datang ke warungnya—sekadar membeli barang pesanan ibu mereka atau membeli jajanan favorit. Murtadi berbeda. Anak itu datang bertandang hanya untuk menenangkan hatinya. Mencoba melenyapkan barang sejenak rasa lelah yang ia pikul lantaran hidup bersama dengan keluarga yang bisa dibilang berantakan. Broken home. Setiap kali Murtadi datang ke warung, selalu ada cerita yang ia kisahkan pada sosok Bu Maemunah. Bukan saja tentang keluarganya, tetapi perihal bagaimana ia hidup di tengah gunjingan anak-anak seusianya. Mereka mengatai Murtadi lemah, lantaran tak pandai bermain bola, juga tak senang bermain di bawah terik matahari seperti kebanyakan anak-anak lain ketika sedang bermain layangan. Murtadi lebih senang menyendiri, duduk santai di pinggir sungai sembari merenungkan nasibnya yang tak seberuntung anak-anak seusianya. Sesekali terlihat ia senang mengejar kupu-kupu di sebuah tegalan yang berada tak jauh dari warung Bu Maemunah.

Lihat selengkapnya