Tut tut...
Jess...
Jess...
Wah...
Bla..blabla.....
Bunyi kereta yang berjalan dan orang-orang yang berlalu lalang, itulah aktivitas rutin di setiap peron. Sudah setiap hari Mayo melihatnya bersama bersama profesor Vio, tapi kali ini Ia melihat peron seorang diri. Profesor Vio sudah pindah ke desa Rintikkan Salju sejak 3 tahun yang lalu dan sejak itu juga Mayo tidak pernah ke peron. Biasanya Mayo hanya bertukar surat dengan profesor Vio, tapi kali ini Mayo berkunjung ke tempat profesor setelah dua tahun berlalu. Untuk pergi ke tempat profesor Vio dibutuhkan 3-4 hari jika menggunakan kapal laut, dan 9-10 hari jika memakai kereta api khusus.
Koper di kedua tangannya memang sangat berat, tapi itu bukan apa-apa baginya. Hatinya yang sedih meninggalkan desanya, itulah yang berat.
Setelah membeli tiket ke desa Rintikan Salju dan menunggu beberapa menit untuk kedatangan kereta, sekaranglah waktunya untuk pergi. Setelah menaruh barang-barangnya dan duduk, kereta mulai berjalan. Lamanya perjalanan dan suhu yang pas, membuat siapapun mengantuk. Tidak perlu menunggu sampai berjam-jam, Mayo sudah tertidur pulas. Entah berapa lama Mayo tertidur, tapi yang pasti Ia bukan berada di desa Terik Matahari lagi, karena seperti namanya, desa Terik Matahari memanglah mempunyai cuaca yang panas.
Dan ada seorang penumpang ikut duduk di depannya. Penumpang itu sedang merajut dan sesekali melirik ke arah jendela kereta. Penumpang itu terlihat seperti baru berumur 20-25 tahun. Rambutnya berwarna hitam dan dikepang ke belakang.
"Hai, apakah kamu pergi sendiri?" Tanyanya, walau terkesan aneh karena memakai topeng, tetapi dari sikapnya dan gerak bibirnya ketika berbicara, Ia terlihat ramah.
"Mmm..., ya!?, Ohh... i-iya." Balas Mayo dengan nada yang canggung.
"Kamu baru pertama kali naik kereta, ya?" Tanyanya lagi.
'Tentu saja! Aku kan baru menginjak usia remaja!' itu yang mau ku katakan, tapi karena profesor mengajarkanku untuk selalu bersikap sopan, jadi aku hanya menjawab, "Mmm... Y-ya begitulah. Hehe..."