"trek...trek..." ( Suara pulpen yang sedang dimainkan). Dimalam sunyi aku menuliskan sepenggal kata demi kata yang kurangkai untuk Mbah To, dengan mata yang kian meneteskan air mata dan tak terhenti-henti. Dalam surat tersebut aku menuliskan,
"Mbah To entah sampai kapan keadaan ini akan berlanjut, aku masih berharap engkau akan kembali pulih deperti dulu lagi. Aku masih ingin menikmati hidupku dengan mu, ingin engkau berikan ilmu dan pengalaman berharga untukku. Mbah To kali ini aku hancur sehancur-hancunya melihat engkau terlihat tegar didepan semua orang, Mbah To jangan engkau sembunyikan sesuatu yang menyakitkan bagimu. Jangan memperlihatkan seakan-akan engkau baik-baik saja, jangan memperlihatkan bila engkau sedang menikmati hidupmu padahal engkau tengah menahan rasa sakitmu. Aku takkan merasa direpotkan hanya karna keadaan yang kau alami kali ini, aku tak merasa diberatkan dengan sakitmu, aku malah keberatan jika kau terus seperti ini. Mengapa harus engkau sembunyikan?? Sedangkan disini kami siap untuk mendapingi demi kesembuhan, aku menuliskan surat ini hanya semata ingin menyampaikan sesuatu yang tak bisa kusampaikan. Aku tak ingin ada perpisahan dan kata selamat tinggal lagi Mbah, setiap malam aku berdoa untuk kesembuhanmu secepatnya. Aku tak pernah meminta sesuatu yang lebih kecuali kesembuhanmu, aku tak menyalahkan siapapun untuk keadaan mu yang sekarang, hanya saja aku masih tak tega melihatmu harus seperti ini setiap hari hanya untuk membuat kami tak cemas! Aku sedih tak bisa berbuat apapun, aku yakin suatu hari tuhan akan kembalikan dirimu seperti semula. --(pertanda putrimu)"
kutuliskan kata demi kata disurat itu sembari meneteskan air mata, aku kesal aku marah pada keadaan. Saat itu aku menulisnya di kamar ku dengan penerangan senter dari hp yang ibu belikan suatu waktu lalu, aku menangis sekencang-kencangnya sampai tiba-tiba Mbah To datang, aku mencoba menyembunyikan kesedihanku. Mbah to bertanya,
"Kenek opo nduk..? Kok nangis??"
"gapopo Mbah, gapopo" (jawab ku)
"Kok nangis ikilo opo o?? Sopo seng nganu?? Opo o, diseneni Mbahbuk a? Opo mari gelot mbek Mbak Dea? Opo o nduk??"
setelah itu aku tak dapat lagi menyebunyikan air mata ku, aku memeluknya erat-erat sambil berkata,
"Mbah ndang waras yo, kiki emoh lek Mbah loro, Kiki gak tego mbah.. mbah janji kudu ndang waras yo"
Mbah To hanya membalas dengan senyuman lalu memelukku dan mengelus-elus rambutku, sebenarnya jujur aku tak ingin mengatakan itu aku takut itu membuat Mbah To sedih, karna besok adalah hari spesialku. Aku besok berulang tahun ke 10 tahun, aku hanya berharap Mbah To sembuh aku tak pernah berharap apapun selain itu.
"Tuhan, aku hanya ingin meminta sembuhkan lah Mbah To kembalikanlah kebahagiaan kami, kembalikan semua yang telah kau ambil dari kami. Jangan engkau ambil Mbah To dari hidupku, aku tak ingin kehilangan untuk kesekian kalinya."
ucapku dalam do'a disaat subuh, aku mulai melipat mukena dan beranjak tidur lagi di kamar. Namun tiba-tiba Mbah To melarangku untuk tidur dalam hatiku bertanya-tanya, mengapa Mbah To melarangku untuk tidur kembali, dan tidak biasanya Mbah To seperti ini.
"Ados kek yo nduk, moro melok Mbah To tak jak dolen ayok ndang.. ndang tak kuncit air mancur"
"iyo mbah, aku adus kek yo.."
aku bergegas mandi dan bersiap-siap, mbah to mulai mengucir rambutku seperti air mancur, mbah to sangat senang dengan rambut panjang karna ia sangat pandai untuk mengucir. Disela Mbah To mengucir rambutku, aku bertanya pada Mbah To
"Mariki te nandi mbah?? Ate dolen nandi?? Mbah To gak loro kan?? Mbah To kuat nyetir sepedah? Mbah To gak ngantuk? Mbah To sehat kan?" (Tanya ku)