Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Bagaimana sebenarnya kita menjalani hidup? Mengapa kita terus menerus sibuk menjalani rutinitas tanpa henti? Kerja- kita bilang, sibuk- kita sangka, demi keluarga- kita kira. Benarkah demikian?
***
Mbok Kirah memasukkan uang hasil jualan kue lupis pagi ini ke kaleng bekas biskuit yang sudah berkarat. Lalu menutup rapat-rapat. Dengan tangan gemetaran, dia meletakkan kaleng itu di sisi sofa paling ujung.
Umurnya sudah hampir satu abad. Itu pun berdasarkan tahun yang tertera dalam kartu keluarga. Kapan tepatnya dia lahir, dia sudah tidak ingat. Orang zaman dulu, sering menuakan atau memudakan tahun lahir. Yang pasti, di usia senja, tubuhnya kian sepuh. Bukan semakin kuat, tapi semakin renta. Bukan semakin cantik, tapi semakin keriput. Tidak ada lagi sisa kebanggan yang dulu diagungkan.
Mbok Kirah menyahut sepotong kain ukuran segi empat yang tersampir di punggung sofa. Dia menggunakan kain untuk menutupi kaleng. Ada bintik-bintik hitam di kain itu, sehingga membuatnya terlihat kotor. Baginya, hal itu manipulasi terbaik yang bisa dilakukan. Sejauh ini cara tersebut berhasil. Dia tidak pernah kehilangan uang.
Mata Mbok Kirah menatap langit-langit. Ada rintik air yang mulai berjatuhan. Dia segera beranjak, mengambil baskom di dapur, lalu meletakkan di tempat air yang mengucur deras. Jika tidak ditampung, ruangan itu pasti akan banjir. Bambu-bambu yang digunakan sebagai ring sudah lapuk. Genting juga sudah pecah. Sehingga tak mampu menahan kucuran air dari angkasa.
Sudah sepuluh tahun gubuk itu tidak pernah direnovasi. Tidak ada tangan yang cukup cekatan untuk mengganti ring dan genting. Maka, Mbok Kirah membiarkan keadaan tak bersahabat itu berlangsung cukup lama.
Mbok Kirah kembali berjalan ke ruang tamu, melewati kamar, sesaat dia berhenti. Kamar itu sudah tidak pernah dia singgahi. Benar-benar usang sekarang. Hanya dipan dengan kasur yang digulung dan ditutup plastik bening. Bahkan plastik itu sudah tertutupi debu dan sawang.
Dia kembali melangkah. Badannya tidak lagi tegak. Entah karena beban hidup yang ditanggung terlalu berat, atau menua juga berarti bongkok? Tua telah membuat tulangnya tidak lagi tegap. Berjalan pun tidak lagi leluasa. Dia harus menggunakan alat bantu tongkat yang terbuat dari bambu atau menggunakan dinding dan benda di sekitar sebagai penyangga.
Mbok Kirah menyusuri ruang tamu. Berpegangan pada dinding geribik, lalu beralih pada meja yang diletakkan di tengah. Dia segera duduk di sofa, menyandarkan punggungnya. Sofa hijau yang sudah tidak lagi empuk itu disusun leter U. Di sanalah dia menghabiskan sisa malam.
Ya sisa. Karena apa yang ada padanya kini hanya sisa. Tidak ada lagi bagian dari dirinya yang bisa disebut sesuatu yang dimiliki. Usia, hanya sisa dari kegagahan ketika muda. Waktu adalah sisa kesibukan ketika dia bisa melakukan banyak hal. Sekarang, dia tidak punya apapun lagi selain hanya sisa-sisa.
Dia mengatur ritme napasnya. Seirama dengan rintik hujan di luar sana. Tempias hujan menyapu wajah. Memang tidak bisa menghapus kerutan-kerutan. Ah sudah, dia memang sudah tidak lagi cantik, tidak membutuhkan perawatan apa pun agar kulitnya kembali kencang. Dia menerima kenyataan bahwa usia telah mengubah kulit menjadi keriput. Sebenarnya bukan kerutan yang sedang dia pikirkan. Bukankah tidak terlalu penting memikirkan kerutan ketika sudah uzur? Dia menganggap kerutan itu sebagai guratan kehidupan yang telah dia lalui selama ini. Semakin banyak kerutan, semakin banyak pula pengalaman hidup yang pernah dia alami.
Hujan, gumam mbok Kirah dalam hati.
Hujan bagi Mbok Kirah adalah doa. Satu tetes air yang ditumpahkan angkasa, adalah satu doa yang dikabulkan Tuhan. Doa-doa yang dipanjatkan manusia, mengangkasa, menuju langit paling tinggi, menuju sisi Tuhan. Lalu jika doa itu terkabul, ia akan berguguran menjadi titik-titik hujan, di suatu tempat. Begitulah dia menerjemahkan hujan.