Mbok Kirah

Atsuka D
Chapter #3

BAB II

Untuk apa berjanji? Membuat seseorang tenang? Atau agar bisa mengingkari?

Tidak ada yang lebih romantis daripada janji Tuhan kepada hamba-Nya.

***

Setelah selesai dengan pembuatan kue lupis, Mbok Kirah segera berangkat ke pasar. Jarak pasar dengan rumahnya tidak terlalu jauh, hanya memerlukan waktu 3 menit jika berjalan biasa. Sementara Mbok Kirah membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk tiba di pasar karena jalannya lambat.

Dia menutup pintu rumah, mengunci dengan gembok. Lalu meletakkan kunci gembok di sela kain yang dililitkan di pinggan. Kemudian mengambil keranjang dari anyaman bambu yang di dalamnya sudah penuh dengan kue lupis dan daun pisang. Keranjang itu diletakkan di punggung, lalu diikat dengan kain batik panjang, yang biasa disebut jarik.

Mbok Kirah memang lebih nyaman mengenakan jarik. Dia sudah terbiasa sejak muda memakainya. Kain itu digunakan sebagai bawahan. Pada saat masih muda, mengenakan jarik membuat perempuan berjalan lebih anggun dan terkesan lemah lembut.

Usai memantapkan gendongan, Mbok Kirah melangkah gontai. Sebuah tongkat kecil dari bambu digunakan untuk membantu berjalan. Tubuh yang telah termakan usia menjadikan punggungnya bongkok dan jalannya lambat. Sesekali dia berhenti, mengambil jeda, mengatur kembali ritme napasnya. Dia termenung sejenak, meratapi banyak hal yang sudah tidak lagi utuh, terkikis oleh waktu yang beranjak kian menjauh.

Perjalanan sepuluh menit selalu dilalui dengan banyak hal, pikiran-pikiran yang tak diminta selalu melesat, membuat kepala kadang terasa pusing. Hati selalu berkata tidak perlu dipikirkan. Tapi nyatanya, tidak bisa. Bahkan setelah Mbok Kirah meletakkan keranjang di sudut pasar, dia masih memikirkan banyak hal.

Mata Mbok Kirah mengawasi sekeliling. Masih sepi ketika dia tiba. Beberapa pedagang ada yang baru datang, mulai dari yang membawa sepeda hingga mobil pick up. Mata tua itu adalah saksi bagaimana pasar itu tumbuh. Masih jelas diingatan, ketika pertama kali dia datang ke daerah itu bersama sang suami. Dulu, ketika daerah itu masih hutan, dikepung perkebunan karet dari salah satu milik perusahaan BUMN, tidak banyak rumah penduduk, dan pasar pun masih sepi.

Berawal dari beberapa lapak yang di gelar dengan daun pisang dan karung-karung. Kemudian menjadi dipan-dipan hingga berkembang menjadi teratur seperti sekarang. Slot-slot dibangun berjajar rapi. Setiap slot berbeda penjual, mulai dari slot pertama didiami oleh para penjual sayuran. Pada slot kedua dari kiri, digunakan oleh para penjual pakaian. Pada slot ketiga, ada berbagai macam penjual, mulai dari jajanan pasar, cendol, makanan ringan, tahu dan tempe hingga makanan jadi. Sementara di slot keempat mulai sedikit berbau amis oleh para penjual ikan, daging, dan ayam.

Di slot ketiga mata itu mengawasi sekeliling, menunggu pelanggan yang menyodorkan uang. Berada di sudut bangunan slot. Hanya menggunakan keranjang besar yang isinya beberapa potong kue lupis. Sudah hampir 65 tahun, dia menjajakkan kue lupis. Pernah berganti-ganti jualan. Mulai dari getuk, kue lupis, kue lapis, dan berbagai macam kue pernah dijajakannya. Tapi yang bertahan hingga kini adalah kue lupis.

Kali ini tidak banyak yang dia bawa. Pasalnya kemarin, dia tidak mendapatkan bahan baku untuk membuat kue lupis, yaitu beras ketan. Hari ini pun menggunakan bahan sisa sebelumnya.

Mata Mbok Kirah masih awas mengenali beberapa pelanggannya. Beberapa dari mereka membeli kue lupis karena kasihan. Tidak masalah, pikir Mbok Kirah. Baginya, dia menjual dan mereka membeli. Sementara beberapa pelanggan membeli karena memang menyukai kue lupis buatannya. Tapi pelanggan macam ini tak membeli setiap saat. Biasanya mereka membeli dua minggu sekali atau sebulan sekali.

Mbok Kirah hafal mereka, nama mereka, dan kisah mereka. Mungkin dia sudah tua, tapi kepekaan telinga masih awas dengan berbagai macam cerita kehidupan. Dia tidak pernah menutup mata dan telinga dari cerita mereka yang datang. Tidak hanya mengulurkan uang beberapa rupiah, melainkan juga berbisik ringan tentang ini dan itu.

Di depan Mbok Kirah ada penjual cendol, di sebelahnya ada penjual pecel, dan gembus. Makanan itu adalah makanan favorit anak-anaknya. Generasi ke generasi menggantikan lapak-lapak itu. Hingga kini sudah ada yang memasuki generasi kedua dan ketiga. Anak sulungnya, Sutardi, menyukai pecel. Sementara anak tengahnya, Suparno, menyukai bubur sumsum dan cendol. Kalau anaknya yang bungsu, Surani, lebih menyukai gembus yang disiram kuah pecel.

Setiap kali sedang duduk termenung menunggu pelanggan, bayangan masa lalu itu terasa begitu jelas.

***

Suparno berlari girang ke pasar. Di susul Sutardi dan Surani. Suparno memang pelari yang cepat. Geraknya gesit. Dia bahkan selalu juara lomba lari di hari kemerdekaan. Kemampuannya itu memang sudah terlatih. Mulai dari dikejar pemilik kebun hingga pemilik kandang ayam.

“Parno!” teriak Sutardi tak dihiraukan Suparno.

Sementara Surani terlihat berhenti sejenak karena napasnya tersengal. Berlari memang bukan keahliannya. Jika diminta berlari, dia pasti akan menyerah duluan. Kalau hari ini dia berlari, itu karena terpaksa.

Suparno tetap berlari. Dia seperti kilat. Tak terlihat. Tak terkejar. Sampai di depan mbok Kirah, dia mengeluarkan rayuan maut.

“Mbok,” kata Suparno dengan napas yang tak teratur, “aku boleh beli bubur sumsum tidak?”

Mbok Kirah sempat heran melihat Suparno. Lalu dia tersenyum, membuat kerutan di sekitar matanya.

“Ya, belilah.” Mbok Kirah menyuruh Suparno membeli apa yang dia suka.

Suparno segera berlari ke tukang cendol, memesan bubur sumsum kesukaannya. Tak perlu menunggu lama, sang penjual sudah hafal dengan pesanan Suparno. Wanita seumuran Mbok Kirah langsung membungkuskan satu plastik bubur sumsum. Lantas diberikan kepada Suparno. Seketika mata Suparno berbinar terang, laksana rembulan tanpa ditutupi awan.

Suparno segera memberikan uang pas. Lalu duduk di dekat Mbok Kirah. Ujung plastik bubur sumsum digigitnya. Dia memang suka melakukan hal itu alih-alih memakan dengan gelas atau membuka ikatan karet.

Sutardi dan Surani tiba ketika Suparno sudah menghabiskan setengah bubur sumsum. Sutardi dengan napas tersengal, mengadu kepada Mbok Kirah tentang kelakukan Suparno.

“Mbok, dia-“ Suara Sutardi tersengal. “Dia mencuri uang di kaleng, Mbok!”

Telunjuk Sutardi tertuju pada Suparno. Tetapi yang ditunjuk tidak memberi respon berarti selain hanya menyipitkan mata. Lalu melanjutkan menikmati bubur sumsum. Kali ini sudah hampir habis.

Lihat selengkapnya