“Mbok Nar, mau es lilin!” ucapku pada Budheku setelah sebelumnya aku bergegas mengganti seragam sekolah dan melipir ke rumah depan melalui pintu belakang. Mbok dari kata simbok, semacam panggilan untuk ibu dalam Bahasa Jawa dan hampir semua keponakan beliau memanggil dengan nama yang sama, “Mbok Nar”. Dengan senyum, ia mengulurkan sebuah es lilin yang masih mengepulkan asap dingin karena baru keluar dari lemari pendingin.
Mbok Nar dan suaminya termasuk orang berada di kampung. Di mana ia menjadi yang pertama dan satu-satunya yang memiliki lemari pendingin, TV berwarna berikut parabola sebesar harapan orang tua, alias besar sekali. Pada tahun sebelum 2000an, masih sangat jarang orang-orang di kampungku yang memiliki barang-barang tersebut, kecuali orang kaya atau pejabat desa. Ya, dahulu Mbok Nar memiliki usaha warung makan yang cukup terkenal di kotaku dan suaminya memiliki usaha jual beli bahan baku bangunan seperti pasir, batu kali dan lainnya hingga memiliki beberapa truck pribadi. Meski termasuk orang kaya di kampungku, ia tidaklah sombong. Ia sangat peduli dengan keluarganya. Dari 8 bersaudara, hanya Mbok Nar yang memiliki kehidupan menengah ke atas hingga ia sering kali menjadi support system ekonomi bagi adik-adiknya. Itulah mengapa semua keponakannya memanggilnya Mbok, sama seperti anak-anaknya. Karena seperti itulah sosoknya, ngemong dan mengayomi.
Apalagi bagiku yang jauh dari orang tua kandungku, alias adiknya Mbok Nar. Ibuku terpaksa meninggalkanku bersama Nenek agar dapat merantau di kota lain dan menghasilkan uang cukup untukku sekolah. Rumah Nenekku dan Mbok Nar terhubung menjadi satu bangunan. Kamar mandi keluarga sebagai batas antara keduanya, di mana kamar mandi khas kampung yang memiliki ruang bebas cukup luas untuk mencuci dan memiliki beberapa bilik kamar mandi dan kamar kecil. Maka tak sulit bagiku untuk lalu lalang ke rumahnya karena ada akses khusus bagi kedua keluarga. Aku bisa dengan bebas datang melalui pintu belakang, seperti saat ini. Ketika hari begitu panas, lelah sepulang sekolah berjalan kaki, aku hanya terbayangkan es lilin yang Mbok Nar jual di rumahnya. Tentunya saja aku mendapatkannya dengan gratis.
Setelah melahap habis es ku, aku tak langsung pulang. Aku terbiasa membantunya menjaga warung atau sekedar menonton TV. Karena beliau memiliki rewang, sehingga ia tak perlu full menjaga warung makan yang ia miliki. Ia menjual sate dan berbagai olahan ayam, terkadang jika Mbok Nar pulang lebih awal seperti hari ini, ia akan membawakanku lauk dari warung makannya.