Mbok Nar adalah anak kedua dari 8 anak Nenekku. Sedang Ibuku anak nomor 3. Dari ke delapan 8 anak Nenek, hanya Mbok Nar yang memiliki hidup layak bahkan di atas rata-rata. Sosok Mbok Nar dan suaminya menjadi standar kesuksesan di keluargaku. Semua saudara-saudaraku segan dengan beliau, meski tidak menjabat sebagai perangkat desa atau lainnya. Entah kenapa sosok Pakdhe Ian, Pakdheku, ini cukup disegani. Sepertinya beliau memiliki aura kuat yang bisa mengintimidasi lawan bicaranya. Bahkan setelah bertahun-tahun aku hidup dan akhirnya aku lulus SD, SMP hingga saat ini aku duduk di bangku SMA, ketakutan dan rasa tidak nyamanku belum berubah sama sekali. Aku masih merasa ada yang mengganjal di hatiku akan sosok Pakdhe Ian. Jika dulu bisa ku acuhkan saja, saat ini tidak lagi. Jujur saja, aku sudah mulai jarang main ke rumah Mbok Nar. Hanya sesekali jika memang diperlukan dan tentu saja saat Pakdhe Ian tidak di rumah. Yang setelah aku ingat-ingat lagi, saat ini waktu beliau di rumah semakin sedikit, bahkan hingga berminggu-minggu tidak pulang. Lagi-lagi, aku tidak memikirkan apapun kecuali memang beliau sedang bekerja. Mungkin mencari pasir saat ini sudah tidak semudah dulu karena kondisi alam yang semakin hari semakin berubah. Bagaimana tidak, jika pasir dan batu dikeruk setiap hari, otomatis akan semakin sedikit pasokannya dan semakin sulit mencarinya.
Mbok Nar adalah sosok yang hangat, memiliki tubuh yang tak terlalu tinggi dan sedikit berisi. Meski begitu, beliau mempesona jika sudah memakai kebaya lengkap dengan kain jarik dan sanggulnya. Beliau sering sekali diundang menjadi penerima tamu di acara pernikahan di kampungku. Selain dari status beliau sebagai orang kaya di kampungku yang membuatnya disegani, aura yang dipancarkan Mbok Nar adalah aura mahal yang anggun berkelas. Di ruang TV tempat dulu aku beserta anak-anak kampung berkumpul menonton TV, terpampang foto-foto Mbok Nar dengan balutan kebaya, kain jarik dan sanggulnya ketika menghadiri berbagai acara, terpancar aura yang berbeda ketika ia berdandan seperti itu. Meski bukan dari jajaran perangkat desa atau orang yang memiliki jabatan, Mbok Nar dan Pakdhe Ian sering diundang di acara-acara resmi desa. Seolah sosok terpandang di kampungku. Mungkin karena mereka termasuk ke dalam orang-orang kaya, sehingga lebih dianggap oleh warga kampungku.
Jika Mbok Nar memiliki aura anggun yang berkelas namun juga hangat, berbeda dengan Pakdhe Ian. Dengan perawakan yang tinggi, badan tegap dengan postur tubuh yang bagus, ia memang terlihat gagah. Namun dari ekspresi yang minim, sikap dan tindak tanduknya yang terlihat kaku pun senyum jarang hinggap di bibirnya, membuatnya seolah membentangkan tembok pembatas dengan orang sekitar. Mungkin karena itu, orang-orang seolah segan dengannya. Bahkan dengan keluarga besarkupun ia jarang berinteraksi.
Mbok Nar dan Pakdhe Ian memiliki kesan yang sangat berbanding terbalik di mataku, Pakdhe Ian yang dingin dan Mbok Nar yang hangat. Dulu aku sering tidur siang dipelukannya, hangat dan empuk, sosoknya seolah panutan karena aku jauh dari ibuku. Semakin besar tentunya semakin berubah kebiasaan itu tapi tidak dengan Mbok Nar. Ia masih seperti Mbok Nar yang sama, lembut, perhatian dan hangat. Meski ada sedikit yang berbeda dari sorot matanya. Seolah lelah, padahal usaha warung makannya sudah ditangani oleh si kembar sehingga Mbok Nar hanya fokus di rumah. Dahulu Mbok Nar menjual es batu dan es lilin karena jarang orang-orang yang memiliki lemari pendingin. Namun saat ini tidak, lemari pendingin bukan lagi barang mewah dan hampir setiap orang memilikinya. Kendati demikian, Mbok Nar masih menjual es lilin dan ditambah minuman dingin lain. Agar tidak terlalu sepi ia membuka toko kelontong kecil yang menjual snack dan kebutuhan sehari-hari. Dahulu anak-anak tetangga memang sering main ke rumah Mbok Nar karena beliau satu-satunya orang yang memiliki TV berwarna tapi sekarang anak-anak tetap datang ke sana namun untuk jajan.
Hari ini, Nenek memintaku mengantarkan sayur nangka ke rumah Mbok Nar. Seperti biasa, aku melewati pintu belakang karena lebih dekat jarak dapur Nenek ke dapur Mbok Nar lewat belakang, jika aku melalui pintu depan harus jalan memutar. Aku menaruh mangkuk berisi sayur nangka pada meja makan dapur Mbok Nar dan menutupnya dengan tudung saji. Setelahnya baru aku melangkahkan kaki ke ruang keluarga di mana kanan kirinya terdapat pintu-pintu kamar yang tertutup. Aku meneruskan langkah kakiku menuju ke ruang tamu, tempat di mana Mbok Nar biasanya bersantai menonton TV sembari menjaga warungnya untuk mengatakan bahwa Nenek memasak sayur nangka kesukaan Mbok Nar. Namun, baru saja separuh dari ruang keluarga yang aku jajaki, aku mendengar suara-suara ribut yang tidak asing hingga menghentikan langkahku.
“Mas!” Suara Mbok Nar naik 2 oktaf dari biasanya, namun terdengar jelas ia berusaha tetap menahannya. Seolah ada amarah yang berusaha ia tekan berbarengan dengan suara yang keluar dari kerongkongannya.
“Apa? Mau ngomong apa lagi? Aku lho belum ada 1 jam sampe rumah. Ngomongmu udah ngaco aja!” jawab Pakdhe setenang mungkin.
“Ngaco gimana? Pak RT liat kamu kok, ada saksinya.”
“Liat apa?”