“Nur,” aku memanggil teman sebangkuku yang tengah memainkan pulpen dengan malas. Wajar sih, memasuki jam terakhir memang jam-jam rawan siswa mulai mengantuk dan hasrat ingin segera pulang sedang tinggi-tingginya.
“Hmm,” jawabnya tanpa melihat ke arahku.
Aku diam, aku bingung harus mulai dari mana. Ingin aku urungkan niatku bertanya pada teman baikku itu, namun aku butuh masukan. Aku sungguh tak bisa memikirkan apa yang harus aku lakukan tentang kenyataan perselingkuhan Pakdheku. Nur yang tadinya abai dan menjawab dengan malas, menyadari aku yang diam terpaku dan tak melanjutkan kalimatku, kini ia memandangku dengan alis yang sedikit berkerut.
“Oi, kenapa? Kebiasaan ih, kalau ngomong setengah-setengah,” tanya Nur yang diikuti dengan gerutu. Aku melihatnya dengan bimbang.
“Nur,” aku akhirnya memutuskan untuk tetap beranggar pikiran dengan sahabatku itu. Ia memandangiku dengan sabar menunggu kelanjutan kalimatku, “aku mau cerita, tapi tolong buat kita berdua aja ya?”
Mata Nur sedikit terbuka dengan alis terangkat keduanya, kalimatku barusan mampu mengusir rasa malasnya diikuti binar mata tertarik. Ia mengangguk cepat dan mendekatkan wajahnya, “aman! Ada apa?” dengan semangat ia menjawabku.
“Jadi gini,” Nur semakin mendekatkan wajahnya sebelum aku meneruskan kalimatku, “ah, jangan kedeketan. Jadi ga fokus, kan?”
Nur mencebik dan sedikit menegaknya badannya. “Apaan? Lama ih, keburu guru dateng, Ras!”
Aku tertawa lalu melanjutkan kalimatku yang sempat tertunda tadi. “Gimana responmu kalau kamu gak sengaja tahu salah satu keluargamu ketahuan selingkuh?”
Aku memandang lekat netra Nur seraya menunggu responnya. Nur dengan lambat memproses pertanyaanku, aku memutar bola mataku malas. Sudah kuduga, batinku.
“Hah? Siapa yang selingkuh, Ras?” akhirnya keluar tanya dari mulutnya.
“Udah jawab aja dulu, sih?”
“Sebentar, kan responnya tergantung siapa dulu yang selingkuh, Ras. Siapa?”