“Mbah, Simbok, Mbah!”
Aku sedang menikmati dengan khusyuk beberapa sendok terakhir perkawinan sayur bayam, telor dadar dan sambel bawang buatan Nenek ketika tiba-tiba Mbak Rani datang dengan mimik wajah yang sulit dideskripsikan. Mba Rani menghampiri Nenek yang duduk di seberangku dan tengah menikmati makan malam kami di dapur. Dapur Nenek cukup luas, sehingga tidak hanya untuk memasak, namun juga untuk ruang makan. Setelah mendekat, terlihat Mbak Rani datang dengan wajah penuh rasa marah, gemetar dan mata yang meninggalkan sembab usai air matanya terkuras. Suasana berubah menjadi tegang setelah tiba-tiba ia datang dari pintu belakang dengan tergopoh-gopoh dan memanggil Nenek setengah berbisik.
“Piye, Nduk?” tanya Nenekku seraya meletakkan sendoknya.
“Bapak, Mbah. Kok Bapak tega sama Simbok ya, Mbah?” tanya Mbak Rani dengan air mata yang mulai meleleh kembali di pipinya sebelum mengawali cerita yang akan berakhir panjang malam ini. Nenek dengan sabar mengelus punggung Mbak Rani tanpa menginterupsi sama sekali isakan cucunya yang sedang pecah. Sedangkan aku terdiam, tak melihat Mbak Rani sedikitpun, hanya menundukkan kepala dengan sendok tetap di tanganku seolah masih menikmati makananku. Padahal aku hanya melihat tumpukan telor yang sudah kucacah-cacah di atas nasiku. Aku sengaja memasang telingaku tanpa melihat orang-orang dewasa itu berbincang, karena aku sudah menebak arah pembicaraan ini.
“Sama siapa lagi, Nduk?”
Pertanyaan Nenek seolah percikan air di wajahku, membuatku mengerjap terkesiap dan berhasil membuatku menggeser bola mata yang kini melirik ke arah Nenek.
Hah? “Sama siapa lagi” tanya Nenek? Batinku.
“Sekarang sama Mbak Yuni, Mbah. Bapak kok gak kapok-kapok ya, Mbah?” jawab Mbak Rani di tengah isakannya.