Mbak Rani dan Mbak Rina ku dapati sedang duduk berjongkok di depan tungku tengah membakar singkong hasil panen di kebun belakang rumah. Dapur Nenek memiliki kompor dan juga tungku yang terbuat dari batu, di mana tungku itu sudah dimilikinya sejak ia kecil, peninggalan almarhum Mbah Buyut. Nenek lebih sering memasak menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu, mungkin beliau lebih nyaman dari pada menggunakan kompor. Dan bagiku sendiri, entah kenapa masakan yang dimasak menggunakan bahan bakar kayu memiliki aroma lebih khas dan lebih sedap. Ujung mataku menangkap eksistensi si kembar yang mengeluarkan bara api sisa kayu yang sudah terbakar habis dari tungku untuk membakar singkong. Ini pemandangan yang biasa, akupun kadang melakukannya untuk mendapat sarapan pagiku. Apalagi, ketika bangun tidur dan duduk di depan perapian, tubuh akan otomatis menjadi hangat.
Yang menjadikannya tak biasa adalah mereka berdua bertingkah seolah tak ada apa-apa. Padahal kedua mata mereka bengkak tak bisa menutupi entah berapa banyak air mata yang mereka tumpahkan semalam. Dadaku kembali nyeri, semalam hanya Mbak Rani yang datang mengadu, tapi pagi ini keduanya terlihat jelas habis menangis hebat. Apa yang terjadi semalam? Tanyaku dalam hati.
Aku membuat segelas teh yang aku tambahkan gula batu seraya melirik kedua kakak sepupuku itu, jelas ada sedih dan luka yang berusaha mereka tutupi. Aku sedikit mendelik ketika menyadari tulang pipi kanan Mbak Rani semburat membiru, meski tertutup helai-helai rambut yang aku tahu pasti sengaja ia lakukan, namun lebam itu masih terlihat olehku karena kulitnya yang putih. Aku menghela nafas, ah, rasanya aku frustasi. Jika beberapa hari lalu aku kalut harus membagi cerita perselingkuhan Pakdhe dengan siapa, sekarang aku semakin bingung karena ternyata pihak-pihak yang seharusnya aku beritahu sudah tahu. Bahkan lebih banyak dari yang kutahu. Aku merasa semakin terjepit saat aku mengetahui situasinya, namun tak memiliki daya untuk melakukan apapun.
Mereka ini orang-orang dewasa, tapi kenapa tak melakukan apapun, sih?
Mereka malah bermain peran seolah tak tahu apa-apa, seolah tak terjadi apa-apa?
Atau mereka sengaja, melindungi diri dengan penyangkalan akan keadaan yang ada?
Keadaan yang ternyata kejam dan tak sesuai harapan atau mereka menyangkal untuk mengakui betapa rusak keluarga kebanggaan mereka?
Kini aku tak hanya marah dengan Pakdheku, tapi juga semua yang seolah menerima perselingkuhan yang ada. Apakah kehidupan dewasa dan berkeluarga memenakutkan ini?
Aku menggerutu dalam hati masih dengan mengaduk teh gula batuku. Dengan sesekali membuang nafas dengan kasar. Gemas, akhirnya aku letakkan tehku di meja. Sambil menunggu agar tak terlalu panas untuk bisa ku seruput, aku menghampiri kedua kakak sepupuku itu. Aku nyempil di antara keduanya dan mengulurkan kedua telapak tanganku ke arah tungku, yang disambut dengan kerutan oleh keduanya.
“Ck, sempit.” ucap Mbak Rani dengan terpaksa sedikit menggeser duduknya.
Aku tersenyum, “enak, anget tauk!” ucapku dengan sengaja semakin mendesak masuk di antara keduanya. Mari ikuti bermain peran baik-baik saja ini, batinku. Mbak Rina yang tergeser tak mau mengalah dan mendorongku pelan dengan pundaknya. Aku yang terdorong tentu saja membuat Mbak Rani juga terdorong. Dan kamipun berakhir dengan saling mendorong. Senyum tipis hadir di bibir mereka. Setelahnya kami berebut mengangkat singkong bakar yang sudah empuk. 4 buah singkong itu kami belah dua secara horisontal pada tampah kecil milik Nenek agar cepat dingin untuk bisa kami nikmati. Kami bertiga duduk mengelilingi singkong itu, sambil sesekali mencolek singkongnya. Kami duduk melantai di bagian dapur yang sudah di keramik, melelahkan jika terus duduk jongkok di depan tungku, kaki kami mulai kesemutan tadi.
“Mbak,” ucapku memecah atensi mereka, “pipi kenapa?”