Aku tidak habis pikir dengan lelaki yang begitu ringan mengangkat tangannya dan melukai wanitanya. Mungkin memang aku adalah anak yang memiliki waktu kebersamaan dengan Ibu dan Bapakku lebih sedikit dari yang lain, karena mereka berdua harus merantau dan pulang hanya di Hari Raya Idul Fitri atau saat libur kenaikan kelas, satu tahun sekali. Namun, aku tak pernah sekalipun melihat Bapak meninggikan suaranya kepada Ibuku. Jadi saat akhirnya aku melihat kenyataan sikap Pakdhe yang bahkan tidak hanya berselingkuh, namun juga tega memukul darah dagingnya, sungguh membuatkan tak habis pikir. Kehidupan keluarga Budheku yang menjadi impian, tiba-tiba lebur seperti istana pasir yang diterjang ombak.
Dahulu, aku selalu iri memandang Mbakku dengan segala kemewahannya. Mbok Nar yang menjadi Ibu yang lembut, selalu ada tapi juga bisa menghasilkan uang sendiri. Yang memiliki suami rupawan, sukses dan kaya serta begitu memanjakan anak-anaknya. Hingga anak-anaknya dapat bebas memilih sekolah yang mereka mau tanpa aku tahu bahwa keindahan itu hanya di permukaan saja. Minggu pagiku kemarin, adalah waktu terbukanya lembaran hitam Pakdhe Ian selama ini. Meski Mbak Rani dan Mbak Rina tidak serta merta mengatakan seperti apa pola asuh bapaknya dan bagaimana hubungan lebih dalam orang tuanya, namun dari cerita-cerita mereka aku bisa menangkap bahwa Pakdheku adalah tipe pria yang egonya ditopang patriarki.
Mba Rani mengatakan, ia terbiasa patuh kepada apa yang menjadi aturan Pakdhe, bahkan Mbok Nar takkan bisa membantah jika Pakdhe sudah memerintahkan sesuatu. Memang, dengan keuangan yang cukup melimpah, Pakdhe menuruti apa yang anak-anak mereka inginkan. Sepeda, bahkan motor tanpa ragu ia belikan. Ia Pun tidak pelit dengan keponakan-keponakannya. Mbok Nar dengan bebas mengeluarkan uang untuk sekedar membayar uang sekolahku ketika orang tuaku belum mampu mengirimkan uang bulanan. Bahkan sering kali Mbok Nar membeli baju untukku yang sama seperti untuk Mbak Rani dan Mbak Rina. aku sudah seperti anak bontot Budhe. Terkadang jika Pakdhe tidak pulang beberapa hari maka aku akan menginap dan tidur bersama Budhe, karena Mbak Rani dan Mbak Rina memiliki kamar tersendiri. Bahkan Mbok Nar yang selalu menjadi waliku jika ada acara sekolah yang mewajibkan untuk datang. Dan tidak sekalipun aku melihat Pakdhe marah kepada Budhe dan anak-anaknya selama ini.
Ternyata benar bahwa kita tidaklah boleh menilai sesuatu dari sampulnya saja. Tiba-tiba aku terpikirkan orang tuaku. Jangan-jangan mereka juga menutupi hal seperti ini? Astaga! Akh, aku mulai gila!
Aku bersumpah, tidak akan aku ijinkan lelaki seperti Pakdhe Ian hadir dan mengisi hidupku, bahkan untuk sekejap. Hakikatnya seorang lelaki adalah membimbing, sebagai pelindung dan mengayomi. Lalu apa yang Mbok Nar dan anak-anaknya dapatkan? Aku merinding, muak dan mual. Bagaimana tidak, ternyata sudah sejak dahulu hal sepele seperti membuat kopi Pakdhe saja bisa menjadi hal besar. Mba Rani mengatakan, ia waktu kecil pernah melihat Mbok Nar ditoyor kepalanya karena kopi untuk Pakdhe kurang panas dan tidak memakai gelas favoritnya. Dan ketika Mbok Nar hendak menjelaskan alasannya, Pakdhe tak mau dengar. Alih-alih menunggu sesaat untuk mendengarkan kalimat Budhe selesai, ia justru mengambil kunci motor dan pergi keluar. Mbak Rani yang terpaku di depan pintu setelah ia pulang bermain mendengar perkataan Pakdhe yang membekas dan takkan pernah ia lupakan, “jadi wanita itu, patuh. Bukan menjawab, suaramu itu gak penting.” seraya melirik Mbak Rani sekilas dan lenyap bersama suara motor yang menjauh.