Bima meletakkan tas kerjanya di atas meja. Dia segera menghempaskan tubuhnya di sofa. Sepi. Tentu saja. Bima tinggal sendiri. Dan apartemen yang ia tinggali cukup besar untuk seorang lajang sepertinya. Ruang keluarga sekaligus ruang tamu tempatnya duduk sangat kosong. Hanya ada satu set sofa dan meja, satu bench dan satu buffet plus televisi yang baru ia beli.
“Kalau ada istri, ruang ini pasti lebih hidup.” Desis Adam ketika membantunya pindahan dari rumah sementara yang ia sewa setengah tahun lalu.
Bima cuma tertawa. Adam selalu mendesaknya untuk segera menikah. Sementara dia sendiri masih betah melajang, merayu pelanggan-pelanggan cantiknya yang setiap saat datang.
“Kamar tidurmu bau, Bim.”
Bau? Ah, mungkin bau cat baru masih tertinggal, pikir Bima. Seluruh apartemen itu memang ia cat ulang. Termasuk dapur dan kamar tidurnya. Dia ingin suasana baru.
“Bau jomblo.” Adam terkekeh.
Sial!
Ponselnya berbunyi nyaring, mengurungkan niatnya untuk mandi. Bima melangkah kembali ke sofa. Ponselnya masih berada dalam tasnya.
“Sibuk?” tanya suara di seberang sana setelah bertukar salam. Pertanyaan to the point seperti ini adalah ciri khas sahabatnya, Tania.
“Enggak. Ada apa, Tan?” Bima menyandarkan punggungnya di sofa. Tak peduli bau badannya akan menempel di sana.
“Kamu tinggal di apartemen, kan?” tanya Tania.
“Iya. Kenapa?”
“Sendirian?”
“Iya lah.” Bima sewot. Memangnya dia laki-laki apaan tinggal serumah dengan sembarang orang.
“Enggak usah sewot, aku kan cuma nanya.” Balas Tania. Tawa kecilnya berderai.
“Lagian kepo banget? Ada apa sih?”
Tania memberi jeda agak lama sebelum menjawab, “aku ada urusan di Jakarta. Dua hari. Aku numpang di apartemen kamu ya? Lumayan, biaya hotel bisa buat shopping.”
Tuh, kan. Tania memang selalu mengatakan isi kepalanya dengan jelas. Seperti kali ini. Tania mungkin lupa bahwa mereka berbeda jenis kelamin. Bagaimana kalau terjadi... ah, Bima tidak bisa membayangkannya.
“Jangan mikir macem-macem, ya?” ancam Tania.
Bima tertawa. Tania bak cenayang, selalu bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan. Seperti kali ini.
“Aku pinjam apartemen kamu. Terserah kamu mau nginep di mana. Kamu kan banyak teman di Jakarta.”
Nah, nah, apa lagi ini? Bagaimana mungkin tuan rumah malah tersingkir? Tamunya kurang ajar sekali.
“Ya? Ya? Please.” Tania memelas.
Bima setuju setelah berpikir sejenak. Selalu seperti ini. dia tidak pernah bisa menolak permintaan Tania meski dia sendiri harus mengalah. Yah, mungkin Adam bersedia memberi tumpangan beberapa hari hingga Tania kembali ke Surabaya.
Bima melangkah menuju kulkas kecil di sudut ruangan, meraih satu kotak teh, dan segera menghabiskan isinya. Sekali lagi ponselnya berbunyi nyaring. Bima meraihnya setengah hati.
“Ya, Dek?” sapanya setelah melihat nama Sandra, adiknya, di layar.