Rendra. Narendra Saga Yudhistira. Politikus berusia 45, salah satu kandidat terkuat calon presiden Republik Indonesia.
Rendra mendesah pelan. Dia sedikit kesal, lantaran kecerobohannya melihat tanggal. Dia baru saja dari Amerika untuk mengunjungi kedua anaknya yang tengah bersekolah di sana, dilanjutkan dengan trip bisnis ke Taipei untuk bertemu beberapa kolega.
Dia kira, hari ini jadwal penerbangannya dari Taipei ke Jakarta. Karenanya, dia santai-santai saja. Rupanya, kemarin penerbangannya. Fix, tiketnya hangus dan hari ini, dia terpaksa berburu tiket sedapatnya.
Gontai, dia melangkah menuju seat-nya. Meski kehabisan seat di kelas bisnis, setidaknya dia cukup beruntung karena mendapatkan seat dekat jendela, seperti yang tertera di tiketnya.
Sayang, rupanya seseorang telah lebih dulu menempati seat dekat jendela. Seorang gadis muda yang tampak menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sedikit ragu, disapanya gadis itu.
"Permisi," ucapnya, pelan.
Sejenak terpana, sebab kini gadis itu menggerakkan jemarinya dengan tergesa. Gerakan yang persis dengan gerakan menghapus airmata.
Menangiskah dia?
Rendra bersenandika.
"Maaf, menurut tiket saya, seat saya yang dekat jendela." Begitu ucapnya, saat gadis berwajah sendu itu menoleh ke arahnya.
Gadis itu segera meraih tiket di saku jaketnya untuk memastikan seat-nya di mana. Benar. Lelaki itu yang seharusnya berada dekat jendela.
"Maaf, Pak. Saya ... yang salah. Nggak teliti lihat tiket. Maaf," ucapnya, seraya bersiap untuk berdiri. Namun, Rendra buru-buru mencegahnya.
"Ya sudah, nggak apa-apa kok kalau kamu mau tetap dekat jendela. Saya yang duduk di seat-mu saja."
Ya, Rendra seketika merasa tak tega, sebab dia yakin gadis itu sedang tak baik-baik saja. Sisa bulir bening masih begitu kentara menghiasi mata indahnya. Benar. Saat pesawat bersiap meninggalkan landasan, bahu gadis itu terguncang. Isakannya samar terdengar.
"Pakai ini." Rendra menyodorkan sebuah sapu tangan, saat pesawat sudah terbang sempurna.
"Kamu ... baik-baik saja?" tanyanya. Gadis itu menggeleng, seraya menerima sapu tangan darinya.
"Penerbangan ke Soekarno Hatta akan memakan waktu lebih dari 5 jam. Dari pada kamu terus menangis sesenggukan, kamu bisa cerita ke saya. Kita kan saudara. Sama-sama orang Indonesia," tawarnya.
Berniat membantu, tapi gadis itu kini justru makin tersedu.
Rendra menghela napas perlahan, seraya meluruskan punggung di sandaran. Sejenak, dia menerawang.
Gadis muda di sebelahnya ini, Rendra yakin jika dia seorang TKW alias Tenaga Kerja Wanita di Taiwan. Bisa jadi, dia seorang pembantu rumah tangga. Terpaksa merantau sejauh ini, lantaran tak ada lapangan kerja memadai di negeri sendiri. Terpaksa membiarkan mimpi masa mudanya redup, demi banting tulang untuk menyambung hidup.
Mata Rendra terpejam. Hatinya luruh redam. Pesan almarhum sang ayah kembali terngiang.
"Tolong teruskan perjuangan Bapak untuk negeri ini ya, Le."
Begitu pesan terakhir sang ayah, sebelum mata teduhnya terpejam selamanya.
Siswoyo Bintang Yudhistira, ayah Rendra, adalah mantan presiden Indonesia. Sebelum terjun ke dunia politik, Siswoyo menduduki jabatan sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI dengan pangkat letnan jenderal. Dia lalu pensiun dari dunia militer setelah diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Siapa sangka, tujuh tahun jemudian, Siswoyo memenangkan pemilu sebagai presiden Republik Indonesia dengan kemenangan mutlak.
Rendra menoleh, saat dia sadar jika gadis di sebelahnya tak lagi terisak.
Pak Sis, begitu rakyat memanggil ayahnya. Pemimpin sederhana, namun tegas berkharisma. Seisi negeri pun menangis dan berkabung cukup lama sepeninggalnya. Tentu saja, hal ini menjadi beban tersendiri bagi Rendra, khawatir jika dia tak bisa menjadi pemimpin sehebat sang ayah.
Lagi, diliriknya kembali gadis di sebelahnya yang kini kian berteman sunyi. Rendra tersenyum. Gadis itu rupanya tengah terbuai mimpi.
"Kasihan sekali kamu, gadis muda. Siapa namamu? Apa yang jadi masalahmu?" lirihnya.
Sejenak, Rendra menikmati gerak-gerik gadis itu. Getaran dan gerakan pesawat membuatnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Lucu sekali. Rendra baru saja mengalihkan pandangan, saat kepala gadis itu tiba-tiba saja mendarat di pundaknya.
Rendra kembali tersenyum. Dia lalu mulai membaca buku Humble Leadership yang sejak tadi berada di pangkuannya, dengan membiarkan gadis itu bersandar di pundaknya.
🌸🌸🌸
"Nyenyak tidurnya?" tanya Rendra, saat gadia itu mulai membuka mata.
Ditanya begitu, gadis itu langsung menarik kepalanya dari pundak Rendra. Buru-buru. Dia tampak begitu malu.
"Maaf, Pak. Maafkan saya. Saya benar-benar nggak ...."