ME & MR.PRESIDENT

Fissilmi Hamida
Chapter #2

#2 Jebakan Untuk Pak Rendra

"Being in politics is like being a football coach. You have to be smart enough to understand the game, and dumb enough to think it's important." (Eugene McCarthy.)

[Berada dalam politik itu seperti menjadi pelatih sepak bola. Kau harus cukup pintar untuk memahami permainan, dan cukup bodoh untuk berpikir bahwa itu penting.]

🌸🌸🌸

Sebulan sebelumnya, di kantor pusat Partai Matahari Raya. Partai oposisi dari partai yang menaungi Rendra.

Hadinata Dewandaru, politikus muda yang juga tak kalah populer dari Rendra. Dewa, begitu dia biasa dipanggil, didapuk menjadi calon wakil presiden dari rekan politiknya, politikus senior bernama Abraham Aditya.

"Ini nggak baik untuk posisi kita, Pak. Elektabilitas Rendra semakin naik saja. Wakilnya, Pak Bastian Buana itu juga semakin naik popularitasnya."

Dewa tampak gundah, seraya berjalan mondar-mandir di depan Abraham yang juga tak kalah resah.

"Waktu kampanye memang masih sampai tengah bulan April tahun depan. Tapi jika terus begini, kita bisa kecolongan," imbuhnya lagi.

Dewa lalu menghempaskan diri ke sofa, seraya melonggarkan dasinya. Sesak serasa menyerangnya.

Narendra Saga Yudhistira. Tak banyak yang tahu jika nama itu selalu mampu membuat gelora kebencian di hati Dewa menderu. Ya, Rendra memang punya tempat tersendiri di hati Dewa, di sebuah ruang bernama dendam dan kebencian yang apinya terus menyala.

Kini, giliran Abraham yang berdiri. Dia lalu berjalan ke jendela, membuka tirainya, dan sejenak menikmati langit yang sejak pagi kehilangan warna birunya.

"Benar. Bahkan isu perceraian Rendra yang pernah kita angkat, rupanya juga nggak mampu menumbuhkan kebencian di hari rakyat," ucap Abraham yang masih bergeming di dekat jendela. 

Rendra bercerai dari mantan istrinya, Gatya Iswara, sekitar lima tahun lalu. Dua tahun sejak dia serius terjun ke dunia politik. Melihat popularitas Rendra terus meningkat tajam, pihak lawan terus berusaha menjatuhkan. Salah satunya, dengan menyoroti status perceraiannya ini.

Menjaga keutuhan rumah tangga saja nggak mampu, kok sok-sokan mau menjaga keutuhan negara.

Seorang Gatya Iswara gitu loh. Sosok sempurna kayak gitu aja disia-siakan. Jangan sampai negara ini juga nanti dia sia-siakan.

Begitu narasi yang para buzzer gaungkan, terutama di media sosial. Belum lagi, meme-meme dengan narasi serupa. Ditambah, artikel-artikel murahan yang mendadak bermunculan.

Kontroversi di Balik Perceraian Politikus Narendra Saga dan Pebisnis Gatya Iswara.

Intip Foto-Foto Gatya Iswara yang Diceraikan Politikus Narendra Saga. Bak Model Kelas Dunia!

Ya, Dewa dan Abraham-lah sosok di balik narasi yang digaungkan para buzzer ini. Sayang, nihil hasilnya. Pesona Rendra bahkan mampu menggerakkan para ibu-ibu menyerang balik para buzzer ini di dunia maya. Tanpa diminta.

"Sepertinya, kita memang harus mengeksekusi rencana yang beberapa waktu lalu kita bicarakan." Abraham kembali bicara.

Kini dia beringsut menjauhi jendela, lalu mendudukkan diri di sebelah Dewa. Dewa mendesah pelan.

"Tapi siapa yang mau melakukan itu, Pak? Kita nggak bisa asal pilih orang. Salah-salah, bisa jadi boomerang bagi posisi kita," ucap Dewa.

Sejenak hening.

"Pak Abraham, Pak Dewa, nuwun sewu."

Abraham dan Dewa menoleh bersamaan ke sumber suara. Sujiwo rupanya. Supir pribadi sekaligus salah satu orang kepercayaan Dewa.

"Saya rasa, saya punya kandidat yang cocok untuk rencana itu. Orang dari kampung halaman saya di Samigaluh, Kulon Progo. Larasati namanya," ucapnya.

Abraham dan Dewa saling pandang seketika.

"Oke orangnya?" tanya Abraham, seraya mengisyaratkan agar Sujiwo mendekat ke arahnya.

"Cuantik, Pak. Bunga desa. Tinggal kita poles dikit, nggak kalah ayu dia dari artis-artis Korea," jelas Sujiwo sambil mengangkat jempolnya.

"Yakin dia mau?" tanya Dewa. Sujiwo mengangguk pasti.

"Saya ada ide untuk membuat dia mau," jawab Sujiwo. "Oke, apa idemu?" tanya Dewa. Matanya menatap tajam, layaknya harimau lapar yang siap menerkam.

"Begini, Pak. Kita harus membuatnya balas budi dulu. Dengan begitu, dia mau nggak mau harus melakukan apa yang kita mau." Sujiwo memulai penjelasan. Abraham dan Dewa kompak mendengarkan.

"Bapaknya meninggal beberapa waktu lalu paska operasi jantung. Untuk biaya operasi, keluarga Larasati ini berhutang ke Syamsudin, teman kental saya. Kita bisa pakai cara akan membayar hutang-hutangnya, dengan syarat, Larasati mau melakukan rencana kita," jelas Sujiwo.

Abraham dan Dewa saling pandang lagi.

"Ini lebih make sense, lebih masuk akal dari pada kita bayar orang sembarangan, Pak. Dengan mengeluarkan budget yang sama, tapi risiko jadi boomerangnya nggak sebesar kalau kita bayar sembarang orang," ucap Dewa pada Abraham.

Abraham mengangguk, tanda setuju.

"Hutangnya nggak sampai 40 juta. Kecil kan untuk ukuran Bapak. Tapi nanti saya bisa kong kali kong dengan Syamsudin untuk membuat hutang mereka jadi berkali-kali lipat. Biar mereka nggak ada pilihan lain selain menerima tawaran kita," imbuh Sujiwo.

"Nah, cocok! Lebih kecil dari yang aku kira," ucap Abraham.

"Kalau begitu, aku tugaskan kamu ke Kulon Progo segera. Setelah beres, kita bahas lebih lanjut untuk eksekusinya," perintah Dewa pada Sujiwo.

Di luar, rintik hujan mulai berjatuhan. Setelah Sujiwo keluar ruangan, Abraham dan Dewa menyandarkan diri pada sandaran sofa, bersamaan. Jelas, keduanya cukup diliputi kelegaan.

"Selama ini, Rendra selalu tertolong oleh nama besar almarhum Pak Sis. Ya, maklum saja. Rendra itu kan kesayangannya. Label bapak-anak juga terlalu melekat pada diri mereka. Jika rencana ini berhasil, aku yakin nama besar almarhum Pak Sis nggak akan bisa membantunya," ucap Abraham.

Seharusnya, Dewa senang mendengar yang Abraham katakan. Sayang, kini kedua tangannya justru mengepal, bersamaan dengan menyatunya gigi geraham.

"Jangan sebut dua nama itu, Pak," pintanya, sebelum dia berdiri, membanting pintu dan keluar ruangan.

Lihat selengkapnya