Minggu kelabu. Mentari masih bersembunyi, mungkin lantaran malu.
Di peraduan, Rendra menerawang. Sejujurnya, hatinya diliputi kerinduan. Pada almarhum sang ayah, juga pada kedua anaknya yang berada jauh di negeri seberang.
Itulah rindu. Meski baru saja bertemu, kerinduan Rendra pada mereka tetaplah menggebu.
Paska peceraian, kedua anak Rendra, Osta dan Kalya, memang tinggal bersama Gatya, ibu mereka. Saat Gatya memutuskan hijrah ke New York, Osta dan Kalya pun turut serta.
Bukan. Bukannya Gatya membawa Osta dan Kalya tanpa persetujuan Rendra. Semua atas kesepakatan berdua, sebab meski telah bercerai, hubungan baik mereka tidak terurai. Demi kebaikan anak-anak, tentu saja.
"Papa rindu kalian, Nak," lirihnya, pilu.
Kepada Gatya, mantan istrinya, ada setitik rindu juga yang kadang menyapa. Bagaimana pun, Gatya pernah menjadi ratu hatinya.
Rendra dan Gatya menikah 18 tahun yang lalu. 27 tahun usia Rendra kala itu, dan 25 tahun usia Gatya. Setahun menikah, lahirlah Osta, putra pertama mereka, dan 3 tahun kemudian, lahirlah Kalya.
Tak pernah ada masalah di perjalanan cinta mereka. Setidaknya, itu yang ada di pikiran Rendra. Rupanya, tak begitu yang dirasakan Gatya.
Terlalu sibuk saat masa-masa awal Rendra terjun ke dunia politik, rupanya membuat api kesepian Gatya terpantik.
Ya, Gatya merasa begitu kesepian. Sayang, alih-alih mengungkapkan pada Rendra apa yang dia rasakan, Gatya justru mencari pelarian.
Pada rekan bisnisnya yang belum lama menduda, Gatya melabuhkan rasa. Gatya ... mengkhianati cinta dan kesetiaan Rendra. Menghancurkan istana cinta yang telah mereka bina belasan tahun lamanya.
🌸🌸🌸
Lima tahun silam, kala bumi telah sempurna dipeluk malam.
"Gatya Iswara. Hari ini, aku, Narendra Saga Yudhistira, menjatuhkan talak padamu. Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kembalilah pada keluargamu setelah ini."
Begitu ucap Rendra. Tampak tenang, meski sejujurnya jiwanya luruh redam.
Ya, Rendra memang sangat terlatih untuk selalu tenang dalam semua keadaan.
Bagaimana tidak. Di hadapannya, di ranjang kebesaran mereka, Gatya tertangkap basah tengah bergumul mesra dengan lelaki lainnya. Dan, itu terjadi saat Osta dan Kalya terlelap di kamar mereka.
Mungkin, Gatya tak menyangka jika suaminya akan pulang secepat ini. Padahal, Rendra sengaja langsung pulang begitu tahu jika konferensi lanjutan di Vietnam dibatalkan, untuk memberi Gatya kejutan. Hadiah yang dia bawa pun kini jatuh, teronggok di lantai kamar.
Sejak di pesawat, Rendra sudah merencanakan adegan manis.
Dia akan pelan-pelan masuk ke kamar karena tahu Gatya pasti sudah terlelap. Lalu, dia akan naik ke ranjang untuk membangunkan Gatya dengan kecupan dan pelukan hangat. Saat Gatya membuka mata, dia akan memberikan hadiah yang telah dipersiapkannya. Sayang, adegan manis itu hanya berakhir di angannya saja.
"Mas ...."
Ucapan Gatya tercekat. Dia bingung harus menjelaskan apa. Mengatakan bahwa ini salah paham, bukanlah sebuah jawaban. Salah paham macam apa yang bisa menjustifikasi scene dirinya tengah bergumul bersama lelaki lainnya?
"Ren, aku dan Gatya ...."
"Keluar Fan. Pergilah sekarang," ucap Rendra, memotong ucapan lelaki yang tengah bersama Gatya.
Fandy Bramantya. Pengusaha di bidang properti. Sialnya, Rendra kenal baik dengannya. Bahkan, sudah beberapa kali mereka terlibat kerjasama.
“Ren, beri aku waktu untuk menjelaskan kalau ….”
“Pergilah sebelum aku menghajarmu, Fan,” potong Rendra lagi, tetap dalam ketenangan sempurna. Dia lalu berbalik arah, bersiap meninggalkan ruangan itu.
“Gatya kesepian, Ren!” ucap Fandy kemudian.
Rendra sejenak memejamkan mata, seraya menghentikan langkahnya. Meski begitu, dia tidak berbalik arah. Dia tetap membelakangi Fandy dan Gatya. Tak sudi rasanya melihat wajah mereka berdua, meski Rendra yakin, saat ini keduanya telah kembali berbusana.
“Gatya kesepian. Kamu terlalu sibuk dengan aktifitas politikmu tanpa peduli jika ada istri kesepian di rumahmu!” imbuh Fandy lagi.
“Saat Gatya butuh sandaran, kamu nggak ada. Saat Gatya kerepotan mengurus Osta dan Kalya, kamu justru ke luar kota berhari-hari lamanya! Suami macam apa kamu yang lebih mementingkan karir politik dibanding istri?” Suara Fandy meninggi, hingga membuat Rendra mengepalkan jemari.
Di lubuk hati, Rendra istighfar berkali-kali, demi meredam emosi diri.
Seolah tak mengindahkan cercaan Fandy, Rendra justru kembali berjalan. Tapi, saat jemarinya mencapai gagang pintu, Rendra berbalik untuk mengucapkan sesuatu pada lelaki yang baru saja meniduri istrinya itu.
“Apa lantas kesepian menjadi pembenaran untuk zina yang kalian lakukan?” Begitu ucap Rendra.
Dia meninggalkan ruangan itu dan bersiap untuk ke kamar Osta dan Kalya. Tak disangka, mereka berdua justru tiba-tiba muncul di hadapannya. Mungkin mereka terbangun karena suara Fandy yang sempat meninggi tadi.
“Ada apa, Pa?” tanya Osta.