Gue Kayla Moore. Anak dari pasangan Karen Moore dan Alanis Gabriella. Umur gue standar buat abg SMA pacaran. Yeah, I’m seventeen.
Sweet seventeen?
Not bad, nggak ada kue, nggak ada surprise, nggak ada temen, juga pacar. Perfect.
Kehidupan gue biasa-biasa aja. Nggak terlalu spesial kayak kehidupan remaja-remaja tujuh belas tahun lainnya.
Gue duduk di bangku SMA Bintang Jatuh kelas dua belas. Iya, kalian nggak salah denger kok. SMA Bintang Jatuh. Sekolah pentolan anak-anak nakal minim attitude. Gue juga nggak termasuk dalam salah satu siswa berprestasi di sekolah. Ya, gue dateng ke sekolah cuma buat tidur.
Mereka—temen-temen yang nggak pantes disebut temen—sering bilang kalau gue itu nggak punya etika, sopan santun dan juga apatis. Like a badgirl.
Yeah, itu gue. Berkat itu, nggak ada satu pun orang yang mau temenan sama gue. Garis bawahi, nggak ada satu pun.
Hasilnya, gue selalu tiduran di kelas, nilai merah-merah, ngebantah guru, dan semua sikap buruk lainnya, gue borong itu semua.
Oke, poin penting yang harus kalian tahu sebelum gue memulai cerita ini. Gue terlahir dari keluarga kurang berada.
Siapa pun tahu, orang tua gue selalu punya alasan buat gue nggak bayar tunggakan SPP yang kian membengkak setiap bulannya.
Alhasil, wali kelas gue yang gemuk itu selalu manggil gue ke ruangannya demi membicarakan tentang tunggakan SPP yang nggak pernah sekalipun gue bayarkan.
Dari kelas sebelas, hebat kan gue? Jelas, kedua orang tua gue. Karen dan Alanis.
Kayak sekarang contohnya, gue baru aja pulang sekolah. Tahu-tahu disuruh ngucek baju sama mama gue.
Karena gue baik, ya udah gue lakukan itu semua usai mengganti baju.
Gue daratkan bokong gue di kursi pendek itu dan duduk menghadapi dua baskom berisi baju-baju orang yang ngelaundry di tempat mama gue. Yeah, mama gue adalah tukang laundry.
Sekarang dia duduk di hadapan gue, menghadap dua baskomnya sendiri. Gue lirik dia sebentar lalu kembali fokus pada kerjaan mengucek baju yang gue lakukan.
Seperti biasa, gue dan mama duduk dalam diam. Nggak ada satu pun yang angkat bicara.
Hanya terdengar suara air mengalir dan suara percikan ketika baju itu membaur dengan air dalam baskom.
“Ma,” ujar gue. Masih fokus pada kucekan celana jeans yang kerasnya minta ampun ketika kena air.
“Hm?” jawab mama dengan dehaman. Dia bahkan nggak natep gue, haha, tipikal si mama emang.
“Ayo beli mesin cuci,” ujar gue, terdengar dingin ke mama.
“Nggak ah. Uangnya mana?”
Gue membuang napas dengan penuh kasabaran.
Gue hempas jeans itu ke dalam baskom yang berbusa lalu menatap mama dengan sorot capek.