Me And My Crazy Life

Sinta Aulia
Chapter #2

BAB 2 : Me And My Problem

Setelah puas nangis beberapa jam, akhirnya gue ketiduran.


Gue kebangun beberapa jam kemudian, mungkin. Langsung aja gue raih hape gue yang tergeletak di atas nakas lalu melihat jam yang tertera di sana.


Jam tujuh. Nice, gue ketiduran dua jam.


Gue pun bangkit dari kasur seraya buka pintu kamar yang sengaja gue kunci.


Jalan dan jalan… akhirnya kaki gue sampai di depan pintu dapur yang di mana tempat itu juga yang digunakan mama buat cuci baju.


Maksud gue, tempat itu luas, jadi sekalian aja digabung jadi satu. Awas kalo nggak ngerti, gue gampar.


Gue berhenti di samping tirai. Tampak dua orang itu masih di sana. Duduk berhadapan, cuci baju dan saling bercanda usai melempar lelucon.


Tanpa sadar, gue gentar di tempat gue berdiri sekarang. Setelah lihat rambut mama yang berantakan nggak keurus, lihat senyum capek papa yang masih berusaha dia tunjukkan, rasanya ada sebersit perasaan bersalah gue ke mereka.


Maksud gue, gue kayak merasa kayak jadi anak paling jahat di muka bumi, tahu nggak.


Alhasil setelah terdiam cukup lama di sana, lihatin mereka berdua cuci baju bareng kayak remaja lagi kasmaran, gue pun memutuskan untuk menghampiri mereka dengan banyak pertimbangan yang ada.


Salah satunya yang nggak bisa ketinggalan ya perasaan gengsi dan malu itu.


Mereka berdua—Karen dan Alanis—noleh tatkala gue tiba di sana dalam diam sambil tunjukin muka cemberut khas bangun tidur: mata bengkak abis nangis, rambut berantakan kayak abis dijambak orang, dll.


Langsung aja gue tarik kursi pendek itu ke sebelah papa. Iya, gue deketnya lebih sama papa dibanding sama mama.


Maksud gue, karena papa itu lebih asik dari mama, jadi nggak canggung gitu kalau ada di samping dia.


Gue tarik salah dua buah baskom asal dan tanpa tahu diri langsung menyeruput kerjaan mama, alias mengangkat beberapa tumpukan pakaian yang lagi mama cuci dan memindahkannya ke baskom punya gue. Laknat, nggak?


Oke, laknat. Whatever.


Papa lirik gue. Iya feeling gue rasa begitu, tapi nggak lama. Cuma sekilas lalu kembali fokus sama pekerjaannya lagi.


Mama juga, curi-curi pandang sesekali. Dan gue tahu itu. Karena gue ngerasa ketika ada yang lihatin gue.


“Kok diem?” tandas gue dengan frontal ketika menyadari bahwa obrolan itu udah sepenuhnya terhenti ketika gue dateng. “Nggak dilanjutin?”


“Hm, Papa, kalo Papa capek, istirahat aja,” ujar mama, terkesan kaku dan nggak natural sekali.


Gue ngelirik papa dari samping sambil ngucek baju.


“Iya nih, Ma. Tapi Papa masih mau bantuin Mama. Oke?”


“Oke, Pa.”


Gue memutar bola mata.


“Nggak natural banget,” sindir gue dengan nada super nyinyir yang pernah ada di dalam diri gue. “Santai aja kali nggak usah kaku kayak gitu.”


Mama dan papa kicep setelahnya.


“Kita nggak usah ngomong ya, Ma. Udah Mama fokus aja lagi, biar cepet selese.”


“Oke, Pa.”


“Nanti yang di sebelah ngomel lagi,” bisik papa ke mama, sambil ngelirik gue dengan pandangan julid.


Gue melengos.


Setelahnya, hening menjadi atmosfer yang kini kami bertiga rasakan. Nggak ada keraguan, nggak ada kecanggungan.


Seakan momen ini adalah momen di mana kita bertiga saling healing satu sama lain.


Momen yang dapat merekatkan kembali kecanggungan akibat perdebatan tadi sore.


Kata maaf nggak dapat gue luncurkan gitu aja ke mereka. Maksud gue, siapa yang nggak canggung minta maaf ke orang tua? Ke temen emang biasa, ke orang tua yang luar biasa.


Dan gue nggak termasuk anak-anak berbakti yang nggak pernah bantah perkataan orang tua ketika mereka larang gue atas apa yang salah bagi mereka.


Lihat selengkapnya