Me And My Crazy Life

Sinta Aulia
Chapter #3

BAB 3 : Me And My Troublemaker

Jam istirahat baru aja tiba. Kedengeran dari suara speaker yang nyaringnya mampu bikin orang bangkit dari kubur. Nggak, canda. Gue angkat kepala gue dari meja lalu merentangkan tubuh yang pegelnya udah nggak ketolongan.


Tanpa memedulikan orang-orang kelas, gue pun segera melangkah keluar dari dalam lubang neraka itu.


Gue injakkan kaki gue di koridor dengan santai. Awalnya sih biasa aja. Tapi tiba-tiba… tiga orang cewek muncul di hadapan gue dengan tampang mereka yang udah kayak pengen lahap gue telak-telak.


Gue pun lanjut jalan, gak lupa gue tabrak dua pundak yang menghalangi gue itu dengan tanpa rasa bersalah.


Tapi rupanya setelah itu pundak gue dicegat.


“Heh! Songong lo, ya!” seru cewek itu, cewek yang cegat pundak gue barusan.


“Singkirin,” tandas gue pelan.


“Hah?”


“Singkirin tangan laknat lo dari pundak gue, bolot!”


Dan gue pun nyentak tangannya yang masih senantiasa bertengger di pundak gue yang suci. Dia tampak kaget setelah itu.


Dia natep gue dengan tatapan benci sebenci-bencinya. Lalu sedetik setelahnya…


“WOY!” teriaknya.


Yang seketika membuat seluruh atensi yang ada di sekitaran koridor kelas menoleh ke arah kita berempat. Sial.


Tanpa banyak basa-basi, mereka bertiga—iya mereka bertiga—segera geret gue dengan nggak terhormat. Gue mencoba memberontak. Mau ke mana lo semua bawa gue, woy!


Bruk!


Tubuh gue didorong sampe berhasil ngempas dinding toilet. Yeah, toilet.


Gue nggak meringis sama sekali. Gue dapet lihat kalau salah seorang dari tiga ular itu mengunci pintu toilet.


“Jadi ini ya orang yang berani report Instagram gue,” tandas cewek itu.


Gue berdiri tegak dengan pandangan dingin sekaligus pongah. Oh, rupanya si cewek pemilik instagram yang isinya konten gosip menjijikan itu.


Why?” sarkas gue dengan songong. Tak lupa juga gue beri dia tawa mendengus yang terkesan sinis banget itu.


Why?” ulang cewek itu.


Oke, biar gue perkenalkan tiga ular itu kepada kalian. Cewek berambut keriting itu namanya Carol. Kalo cewek dengan wajah oval itu namanya Gloria. Terus… yang di tengah. Yang mukanya paling antagonis di antara ketiga orang itu namanya adalah Wanda.


“Heh,” ujar Wanda sambil dorong pundak kiri gue dengan keras. Tapi tangan jahannamnya itu segera gue tepis. “Kok lo nyolot, sih.”


“Ya suka-suka gue lah,” sewot gue.


Si Wanda mendengus. Dia terlihat marah. Dan bener aja, dia langsung dorong pundak gue berkali-kali sampai punggung gue berkali-kali membentur dinding. Dia menyeru, mengata-ngatai gue segala macam kata-kata kasar yang nggak bisa gue jabarkan di sini. Jalang, berengsek, sialan, troublemaker, dan lain sebagainya. Telinga gue panas.


Segera aja gue dorong dia dengan kasar sampai dia berhasil termundur beberapa langkah ke belakang. Dia lagi-lagi mendengus sinis.


“WOY!”


“APA?” sahut gue cepet. Persetan, Wanda, lo udah ganggu batas zona aman lo ke gue.


PLAK!


Tamparan gue daratkan ke pipi kirinya dengan telak. Sekilas, dia tampak terperangah. Sekali lagi, gue layangkan tamparan gue ke pipi kirinya dengan amat sangat menyakitkan.


Shit


Dia memaki. Tapi belum sempat dia ngelanjutin makiannya itu, tamparan gue lebih dulu mendarat di pipi kanannya.


“WOY!” Dan akhirnya dia teriak.


Yeah, gue tahu ini bakal berjalan nggak baik. Akhirnya, dia dorong gue. Dan gue balas dorong dia. Alhasil, terjadilah aksi dorong-dorongan antara gue dan Wanda. Kita saling jambak rambut sambil maki-maki bersahut-sahutan nggak ada yang mau kalah.


“Sial, bitch!” teriak Wanda.


Kali ini tamparan mendarat di pipi gue. Gue baru aja mau balas nampar, tapi dua ular itu keburu nimbrung dan ngejambak rambut gue. Hasilnya, kita saling jambak satu sama lain. Tiga banding satu.


Gak ayal, seisi toilet berhasil gue dan tiga ular itu hambur. Beruntung nggak ada penghuni di dalamnya. Kalau ada, mungkin dia bakal terlibat ke dalam aksi labrak berujung cekcok ini meskipun dia nggak ada niatan mau terlibat. Oke, persetan.


BRUK!


Pintu toilet terdobrak. Kita berempat jatuh ke lantai. Tapi nggak ada satu pun dari kita berempat yang mau ngalah—ngelepasin sehelai rambut aja—satu sama lain.


Bugh! Bugh!


Wajah gue dipukul Gloria. Nggak mau kalah, gue pukul hidung dia dengan keras. Gue lihat banget kalau Gloria menjerit. Kita berempat meracau, memaki dalam bahasa nggak berattitude yang nggak pernah diajarkan oleh guru di sekolah maupun orang tua gue.


Yeah, karena keributan yang ketiga ular itu buat, sontak aja membuat murid-murid lain segera membentuk gerombolan demi nonton drama pertengkeran remaja yang tayang secara eksklusif di toilet sekolah sekarang.


Dammit!” teriak gue.


Gak lama, bagai kesialan yang nggak ada akhir, dua orang guru olahraga dateng bersama kepala sekolah. Mereka—dua orang guru olahraga—segera misahin gue dan ketiga ular itu. 

Lihat selengkapnya