Me And My Crazy Life

Sinta Aulia
Chapter #4

BAB 4 : Me And My Bad

Usai membentak mama tadi, alhasil di sinilah gue. Makan batagor di pinggir jalan bersama dengan derasnya hujan yang turun ke bumi pertiwi ini. Bertemankan suara hujan yang turun secara konstan, gue merenung dengan sesendok batagor yang mengambang di udara.

 

Seragam masih senantiasa gue kenakan hingga sekarang. Tenangnya suasana sekarang seketika membuat pikiran gue mendadak mengelana ke bayang-bayang saat di mana mama dan papa sewaktu sekolah dahulu. Maksud gue, mama dan papa jelas satu sekolah. Tante Deirdre, Om Eleo, dan Om Jundi, mereka satu sekolah.

 

Gue pernah tanya ke mama, siapa Tante Deirdre di posisi hubungan timbal balik mama?

 

Dan mama menjawab dengan jawaban yang bahkan nggak sespektakuler yang gue bayangkan. Yeah, mama bilang, Tante Deirdre itu hanya sekadar temen yang bahkan nggak sama sekali deket dengan mama. Tepatnya, itu jauh dari bisa dikatakan sebagai teman.

 

Sementara Om Eleo, mama pernah bilang kalau beliau dulunya adalah seorang kutu buku yang bahkan popularitasnya kurang dilihat. Lebih tepatnya, Om Eleo itu orang yang cerdas, buktinya sekarang dia jadi Direktur di sekolah yang sekarang gue gunakan untuk menuntut ilmu. Dan yeah, dengan simpelnya mama bilang kalau Om Eleo itu suka sama mama dulu. Haha, shit. Melucu.

 

Dan untuk Om Jundi, nggak usah ditanya lagi. Om Jundi itu komikus garis keras. Tiap kali gue dateng ke kafenya yang ada di sebelah toko roti di dekat persimpangan itu, dia selalu nyapa gue dengan candaannya yang berujung menyebalkan jika didengarkan lebih lanjut. Tepatnya, dia temen baiknya papa.

 

Dari tampangnya, Om Jundi sama kayak papa. Maklum, sudah kodratnya jika pertemanan itu dipersatukan karena suatu kesamaan. Dan mereka dipertemukan karena berakhir dengan takdir yang sama: hidup yang nggak adil. Ah ya, bagian yang paling mengganggu di pikiran gue sejak bahas ini, bahwa sebenarnya Om Jundi itu saudaraan dengan Om Eleo. Jundi Kristian dan Eleo Kristian. Hebat, sayangnya papa temenan dengan Om Jundi.

 

Gue nggak menghardik pekerjaan Om Jundi yang setiap hari hanya berkutat dengan kafenya yang bahkan selalu sepi itu, nggak. Hanya aja, siapa yang pengen itu terjadi?

 

Nyatanya nggak ada satu pun orang di dunia ini yang pengen itu terjadi kepada kehidupan mereka.

 

Papa bilang dulu dia dan mama cukup bersinar di sekolah. Yeah, mereka berprestasi. Maksud gue, biar gue simpulkan. Cukup, mereka cuma cukup bersinar, bukan sangat bersinar hingga mampu dikenal oleh seantero sekolah karena prestasi mereka. Nyatanya lagi, semua orang memang pernah bersinar. Dan itu cukup menjelaskan bahwa mama dan papa bukan sesuatu yang spesial di mata semua orang. Mereka duma orang biasa, yang semakin membulatkan kesimpulan gue bahwa mereka termasuk ke dalam sekumpulan orang freak menyebalkan.

 

Shit.

 

Gue usap air mata gue pelan. Setelahnya, gue suap batagor gue yang udah mulai lembek karena terlalu terendam di kubangan saus kacang sampai habis. Hujan udah sepenuhnya reda, setelah membayar batagor, gue pun melenggang meninggalkan pinggir jalan dengan setengah berlari, mencegah rintiknya yang nggak terlalu banyak menjatuhi seragam gue.

 

---

 

PAPA. Satu sosok yang saat ini gue pandangi sedang mengangkut se-sak semen menuju lantai atas.

 

Dari sini—bawah pohon mangga yang letaknya sekitar sepuluh meter jauhnya dari bangunan—gue dapat melihat papa ngusap keringatnya.

 

Gue nggak berhak menghakimi siapa pun, termasuk mereka yang sudah berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan gue meskipun cara itu nggak mudah dilalui.

 

Gue cuma merenung, membayangkan dosa apa yang udah mereka perbuat di masa lalu. Itu aja. Sekilas memang tampak seperti omong kosong seorang remaja labil berusia tujuh belas tahun, tapi itulah kenyataannya yang tampak di kedua bola mata gue.

 

Gue benci mereka berdua.

 

Jika gue memiliki kesempatan untuk kembali ke masa lalu, gue bakal cegah keduanya untuk bertemu. Sesulit apa pun itu, sekali pun menentang hukum alam yang berlaku, gue akan mengubah masa lalu.

 

---

 

Gue melangkah skeptis masuk ke dalam rumah. Mama ada di dalam, lagi mencuci baju. Dia noleh ke gue lalu berdiri.

 

“Kayla, kamu ke mana aja, Sayang—"

 

Gue melengos lalu segera masuk ke dalam kamar.

 

Tiga setengah jam berlalu, gue buka sedikit pintu kamar dan ngintip melalui celahnya. Bagus, kosong. Kayaknya mama dan papa lagi sibuk cuci baju.

 

Gue yang sudah siap dengan pakaian khas anak punk segera aja melenggang keluar dari kamar. Gak lupa gue tutup pintunya dan melangkah dengan mengendap-endap menuju pintu keluar yang jaraknya nggak tapi jauh dari rumah kecil ini.

 

Sampai di luar, usai menutup pintu keluar tanpa suara, gue pun segera memacu langkah gue dan berlari meninggalkan pekarangan rumah.

 

---

 

Langkah gue sampai di depan sebuah perkumpulan orang-orang yang kerjaannya ya suka rokokan, minum-minuman dan banyak lagi. Letaknya di belakang bar di sudut kota. Dan itu tempat yang hits untuk perkumpulan remaja nakal. But, gue? I don’t know. Di sana ada ruang buat gue, selama ini gue emang ada di sana, hanya aja gue jarang datang. Dan sudah gue duga, orang-orang itu segera noleh ke gue.

 

“Kaylaaa!” seru seorang cowok berambut hitam disemir merah sambil lepas rokoknya dan ngerangkul gue dan bawa gue duduk bersama dengan orang-orang itu.

 

“Heyo!” balas seorang cewek sembari ngehigh five ke gue, disusul oleh cewek-cewek dan cowok-cowok lainnya yang ada di sana.

 

Dibandingkan dengan di sekolah, bagi gue tempat ini lebih manusiawi. Bahkan sekolah nggak akan pernah bisa dibandingkan dengan tempat ini.

 

Di tengah perbincangan seru gue dengan temen-temen gue, tiba-tiba seorang pria melangkah memasuki tempat ini yang seketika itu juga membuat seluruh atensi yang ada di dalam sana teralih. Termasuk gue yang langsung melenyapkan tawa lebar gue.

 

“Anak baru?” terkanya ke gue.

 

Gue tebak dia seumuran papa, cuma tampilannya nggak bisa disetarakan dengan papa.

 

“Nggak, gue dah lama di sini,” jawab gue seadanya, sembari mengembuskan asap dari rokok yang terselip di bibir gue.

 

“Om kali yang baru,” lanjut gue dengan senyum miring yang seketika membuat gelak tawa seketika tercipta di tempat terbuka itu.

 

“Woah… bitch,” tandas om itu sembari tertawa terperangah usai mendengar jawaban songong gue.

 

“Boleh juga,” ujar om itu sambil ngangguk-ngangguk. “Masih sekolah?”

 

“Eh, kok kaku banget sih? Panggil aja dia Calvin,” ujar cowok yang tadi rangkul gue sambil nunjuk om itu dengan dagunya. “Dan ini Kayla, jarang di sini tapi keberadaannya membekas,” lanjut cowok itu yang seketika membuat gue mendecih.

 

“Oke,” jawab Om Calvin sambil menyeringai.

 

Dan setelahnya, seorang cowok pun teriak menyerukan untuk semua yang ada di sini untuk bersenang-senang. Semuanya jelas bersorak, termasuk gue.

 

Ada yang minum-minum—maaf, mungkin ini lancang, tapi itulah suasana yang saat ini mengelilingi gue—ada yang merokok dan banyak lagi yang nggak bisa gue sebutkan.

 

Kita bebas, gue bebas. Seenggaknya untuk sekarang.

 

Ketika Om Calvin nawari gue sebotol minuman keras kepada gue. Gue sejenak menatap dengan senyum pervert. Entah ada setan apa yang merasuki gue, gue pun sambut itu dan meminumnya sedikit. Tapi baru aja setetes botol nyentuh bibir gue, tatapan gue langsung jatuh ke dua orang—satu cowok dan satu cewek berpakaian khas cewek malam—yang baru aja keluar dari bar sambil rangkul-rangkulan.

 

Dia lihat gue balik. Kita sama-sama melotot.

 

Brrssh!

 

Minuman yang masuk dengan volume banyak ke mulut gue itu langsung menyembur ke luar.

 

Lihat selengkapnya