Me And My Crazy Life

Sinta Aulia
Chapter #5

BAB 5 : Me And My Second Mistake

Gue ngebuka mata gue tanpa gue minta untuk dibuka. Dia kebuka sendiri, dan gue merasa bulu mata atas dan bawah gue lengket. Dan yeah, gue sadari sejak tadi gue masih sandaran di pintu, di lantai.

Gelapnya ruangan seketika mengundang hawa dingin yang pada saat itu juga buat gue menggigil. Ditambah lagi lantai keramik yang saat ini menjadi latar gue duduk.

Jam di dinding menunjukkan pukul enam pagi. Pantes dingin banget. Gue pun bangkit, sakit di leher gue rasakan ketika gue berusaha mengolahragakan mereka.

Gue dorong pintu kamar gue. Nggak dikunci.

Seketika itu juga gue ingat kejadian tadi malem. Saat lihat ekspresi murka papa dan Om Jundi yang nggak pernah mereka tampakkan di hadapan gue. Ini pertama kali, dan hal itu kembali membuat jantung gue berdetak cepat bersamaan dengan desiran darah gue yang mendadak terasa. Gue takut.

Gue buka pintu tua itu, deritnya yang jernih terdengar di telinga gue di tengah keheningan rumah.

Di dapur, gue denger suara ikan digoreng—terdengar dari suara minyaknya yang keras ketika ikan itu dicemplungkan ke dalam minyak.

Gue pun melangkah dengan pelan, seperti mengendap, untuk memeriksa ke dapur. Tempat yang paling sering mama dan papa pijak. Dan juga gue pijak selain kamar gue sendiri.

Gue sibak tirai itu dan seketika itu juga punggung mama tampak di kedua bola mata gue. Dan benar aja, mama lagi goreng ikan. Sementara papa lagi cuci baju, bantu mama selagi mama sibuk dengan pekerjaannya.

Gue melangkah menuju ke arah papa. Gue lihat dia nggak noleh sama sekali ke gue. Sama halnya dengan mama yang nggak sama sekali menoleh barang setengah detik. Mereka bersikap seolah gue nggak ada.

Melihat itu, kedua mata gue berkaca-kaca. Tanpa sadar, gue terisak sambil berdiri.

Nggak ada yang lebih menyakitkan dari dicuekkin oleh orang tua sendiri.

Bagai ribuan godam yang menghujam tubuh gue bersamaan, gue merasa itu semua menyiksa gue. Lama kelamaan, isakan gue terdengar semakin keras dan pada akhirnya berganti menjadi tangisan bersama sesenggukan.

Sesak banget.

“Papa.”

Gue panggil papa gue yang masih pada aktivitasnya. Papa nggak nyahut perkataan gue.

“Pa.”

Lagi, gue panggil dia sekali lagi. Tapi dia tetep nggak nyahut!

“Maafin Kay…” lirih gue, sambil terisak. “Kay—” Gue tercekat, sambil ngusap hidung gue dengan menyedihkan. “Kayla nggak bermaksud mau ngelakuin itu. Kayla, Kayla kelepasan, Papa…”

Gue nangis kenceng. Bodo amat tetangga mendengar itu. Maunya gue sekarang cuma satu, dengar suara mama maupun papa. Cuma itu, nggak ada yang lain.

“Papa maafin Kayla… Kayla khilaf…”

Tangis gue semakin pecah. Kedua tangan gue terkepal erat.

“Kayla lancang… dan Kayla minta maaf…”

Papa masih bergeming.

Tanpa aba-aba lagi, langsung aja gue dekap tubuh papa dari belakang. Seerat yang gue bisa dan menangis di atas punggungnya yang lebar.

Yeah, sedeket itu gue sama papa. Dan gue nggak suka suasana ini. Ini memuakkan.

Gue terus nangis. Persetan dengan baju papa yang basah akan air mata gue.

“Kayla salah… Kayla udah… Kayla udah buat Mama sama Papa kecewa…”

“Kenapa bujuk Papa? Ke siapa kamu salah?”

Gue terisak. Denger papa nggak nyebut nama gue rasanya sakit banget.

“Ke Papa…” jawab gue dengan isakan putus-putus gue.

“Ke siapa kamu salah?” ulang papa. Suaranya menegas.

Gue terisak lagi dan lagi.

“Ke Mama…”

“Ke siapa?” tekan papa.

Tangis gue semakin kenceng.

Mama berhenti menggoreng ikan. Dia pun mematikan kompornya lalu berkata, “Ke diri kamu sendiri.” Dengan nada penuh penekanan.

Gue noleh ke mama dengan mata sembab.

“Kamu nggak bodoh untuk berpikir bahwa alkohol dan rokok itu pelarian yang tepat untuk masalah kamu, Kayla Moore,” cetus mama, tentunya dengan nada yang terdengar nggak enak sama sekali.

Lihat selengkapnya