Gue membuka kedua mata gue. Pengar dan berat. Kepala gue rasanya mau pecah. Mendadak tersadar akan sesuatu, gue pun segera mengangkat kepala gue dari sesuatu yang empuk di bawah gue.
Gue segera duduk, hilang sudah pusing di kepala gue. Sejenak gue mengedar. Demi mengamati ruangan gelap yang saat ini nggak ada penerangan sedikitpun dari lampu. Cahaya rembulan yang masuk dengan intensitas sedikit, sekiranya itulah penerangan gue sekarang dari kondisi gelap gulita ini.
Gue lihat gorden berkibar. Dari suara berisik di luar, gue tahu sekarang sedang hujan. Jantung gue mencelus. Ini kamar gue.
Gue perhatikan baju yang gue kenakan, gue pegang kepala gue yang masih pengar banget, dan gue merasa bahwa mimpi itu tampak nyata.
Atau nggak… ini kenyataan?
Kenyataan bahwa gue mabuk.
Lalu siapa… siapa yang membawa gue ke kamar?
Brak!
Pintu menjeblak terbuka. Membuat gue langsung terperanjat di tempat. Atensi gue langsung terarah ke ambang pintu, yang di mana di sana terdapat sesosok siluet tubuh. Klek!
Lampu menyala.
Itu papa. Dia kini berdiri dengan wajah marah ke arah gue. Mati. Kali ini gue bener-bener mati.
“Bagus.” Papa berkata untuk pertama kali. Dari suaranya terdengar berat, dan itu sukses membuat bulu kuduk gue meremang. “Bagus, Kayla!”
Gue tersentak. Nggak lama, mama muncul di ambang pintu.
“Mabuk-mabukan, ngerokok. Kenapa nggak sekalian ngobat aja?” tukas mama saat itu juga dengan nada lantang. “Siapa yang ngajarin kamu kayak gitu!”
Untuk kesekian kalinya, gue kembali tersentak.
“Anak cewek, ditemukan di pinggir jalan, mabuk-mabukan, berseragam sekolah lagi. Di mana kamu naroh akal sebagai manusia berpendidikan, Kayla?!” lanjut mama seraya berteriak.
Gue mendadak ciut.
“Apa tadi? ‘Mama sama papa juga minum-minum. Kalo kalian pernah gitu, kenapa Kayla nggak boleh’? How do you think you can be like that, huh?!” gertak mama. “Kata siapa omong kosong itu? Calvin?”
Gue bergeming. Jujur, gue gemetar banget pas denger dan lihat ekspresi dan juga suara mama sekarang. Maksud gue, gue takut dengan atmosfer yang rasanya benar-benar intens kayak sekarang. Seolah-olah gue sedang dihakimi atas perbuatan salah yang gue lakukan.
“Mama.”
“Apa yang kamu dapetin dari bertingkah kayak gitu, hah?” gertak mama lagi. “Kamu mau jadi anak nakal, Kayla? Jadi anak nakal yang bertingkah seenaknya seakan-akan dia nggak punya orang tua untuk dijadikan panutan. Iya?!”
Gue bergeming. Dalam hati, gue muak. Hasilnya, gue nggak bisa lagi nahan omongan mama yang layaknya sebuah hardikan ke gue ini.