Terus gue terobos hujan deras yang turun dalam intensitas yang sangat banyak ini. Nggak peduli dingin ataupun baju gue yang basah akannya. Gue nangis, sampai-sampai air mata gue membaur dengan hujan yang turun.
Persetan dengan segalanya.
Air dingin dalam sekejap membasahi sekujur tubuh gue atau sambaran petir yang terus memercikan cahaya putihnya di langit gelap tanpa bintang.
Gue meraung memecah hujan. Jika dapat gue beritahu ke kalian bagaimana perasaan gue sekarang, tentu aja gue akan menjawab bahwa rasa sakit akan itu benar-benar nggak terperi rasanya. Seakan-akan dunia gue hancur setengahnya.
Seakan-akan setengah dari hidup gue diangkat dan dihancurkan dalam sekejap mata memandang.
Gue terus berlari dengan raungan menyedihkan gue. Hingga sesuatu tiba-tiba membuat tubuh gue langsung limbung, jatuh ke depan dan tersungkur sehingga dagu gue berhasil nyentuh aspal dengan sangat telak.
Gue terisak.
Sakit. Tapi rasa sakitnya nggak akan pernah bisa disandingkan dengan rasa sakit akan omongan Papa tempo lalu. Nggak akan pernah bisa disandingkan dengan rasa sakit akan keputusan bodoh yang gue pilih beberapa saat yang lalu. Itu menyedihkan dan memuakkan dalam waktu yang bersamaan.
Untuk menyesal sekarang bahkan nggak akan ada gunanya. Banyak pertanyaan yang terlontar di kepala gue sekarang.
Ke mana gue setelah ini? Apakah Mama dan Papa akan menjemput gue? Apakah mereka bakal nyari gue? Apakah Om Jundi juga bakal jemput gue? Apakah, apakah, apakah. Terlalu banyak kata ‘tanya apakah’ yang gue utarakan, bahkan dari itu semua nggak ada yang gue tahu apakah itu semua ada jawabnya. Lagi-lagi kata ‘apakah’ yang gue lontarkan.
Hanya perihal waktu untuk membuat segala impuls mengubah kemarahan dan penyesalan gue menjadi kata ‘benci’. Ya, hanya perihal waktu. Yang semakin menguatkan ambisi gue, bahwa Mama dan Papa nggak seharusnya bersama. Jika itu terjadi, mungkin gue nggak akan berakhir menyedihkan seperti sekarang.
Itu jika Tuhan baik.
Maka Dia akan mengabulkan keinginan gue.
---
Gue membuka mata gue. Silau, bray. Gue kerjap-kerjapkan mata gue demi menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke retina gue.
“Huuuuu!”
Gue melebarkan kedua bola mata gue ketika suara sorakan terdengar di depan gue.
Gue kerjapkan kedua mata gue sekali lagi. Kali ini pemandangan pertama kali yang gue lihat adalah barisan orang yang duduk di tribun. Mereka bersorak ke arah panggung yang ada di samping kiri gue.
Tepatnya, ke arah seorang… pembawa acara? Eh?
Sebentar. Kok gue ada di sini aja, sih? Maksud gue, tadi malam hujan. Dan gue pingsan di jalan, terus… LAH KENAPA GUE TIBA-TIBA ADA DI SINI, KAMBING?!
Gue amati sekeliling gue. Suara tepuk tangan masih terdengar meriah ketika si bapak MC itu berkata dengan hebohnya di atas sana.
Di panggung. Ya, lebih tepatnya gue ada di samping panggung.
What—
“Baiklah, tanpa berlama-lama lagi, kita langsung saja sambut bintang kita hari ini. Ini dia, Karen Moore!!!”
Dari samping gue berdiri, lewat sesosok tubuh yang nabrak sedikit punggung gue, sehingga membuat langkah gue seketika termaju selangkah ke depan. Woy, kurang ajar.
Sosok bernama Karen Moore itu segera berlari pelan menginjak lantai panggung dan berhenti di samping si bapak MC seraya melambai-lambaikan tangannya ke khalayak di depan yang merupakan para murid tersebut.
Lambaian heboh itu dibalas sorakan dan berbagai macam keriuhan lainnya yang nggak bisa gue sebutkan satu-satu di sini.
“Asek!” seru sang MC dengan nada dipanjang-panjangkan.
Gue mendadak terpana. Bentar deh. Itu cowok kok gue kayak kenal, ya?
Bentar, bentar. Karen Moore?
Hah? BUKANNYA ITU PAPA?!
“Oke, bintang selanjutnya adalaaaaahh…. Alanis Gabriella!!!”
Seorang cewek bertubuh yang cukup tinggi melangkah maju naik ke atas panggung. Seketika itu juga sorakan-sorakan yang nggak kalah ramai dari sorakan—maksud gue, jika gue sebutkan mungkin absurd, tapi itu Papa, kan?—terdengar dari barisan tribun murid di depan sana.