Hahahaha.
Ini bukan mimpi. Berulangkali pun gue coba untuk cubit seluruh badan gue sepanjang gue naik pesawat untuk terbang ke daerah Pulau Kalimantan, gue tetep ada di sini dan berujung pada kesakitan.
Nyatanya, ini adalah kenyataan. Gue masuk ke tubuh Tante Deirdre. Dan ini adalah tahun 2003, yang di mana, ini adalah tahun di mana ketika Mama dan Papa menginjak kelas sebelas SMA di SMA Celosia. Iya, lo nggak salah denger. SMA Celosia, SMA elite di seluruh daratan Jakarta pada masa itu, tahun 2003. Sekolah yang cuma nerima murid berprestasi dan murid kaya yang ada di seluruh Jakarta.
Murid kayak gue sekolah di sini? Haha, udah dari jauh-jauh hari gue bakal dibuang. Maksud gue, gue pasti bakal langsung tersingkir di tahap pra-pendaftaran di sekolah ini. Skip.
Pada bulan September, di sinilah gue. Kaget? Siapa yang nggak kaget dirinya dilempar ke masalalu? Siapa yang bakal percaya?
Terlebih, tubuh gue dimasukkan ke tubuh Tante Deirdre. Haha, bullshit.
Antara gue harus bersyukur atau menyumpah, bersyukur karena Tuhan mengabulkan doa gue, dan menyumpah karena dari sekian banyak tubuh yang harus gue masuki, kenapa malah di tubuh tante-tante yang gue benci?
Ini seperti win-win solution. Tuhan kasih solusi yang di mana gue sudah tahu apa yang harus gue lakukan sekarang. Ini kesempatan, Kayla. Jangan pernah lo sia-siakan.
Tapi…
Bolehkah gue mengeluh untuk sekarang?
Oke, mungkin Tuhan mengabulkan doa gue. Tapi… kenapa mengabulkannya di saat seperti sekarang, sih? Maksud gue, kenapa pas Olimpiade, sih?!
Gue duduk dengan mata yang sama sekali nggak berkedip di salah satu meja panjang yang ada di dalam ruangan luas dan dingin itu. Maksud gue, gue duduk di antara Mama dan Papa versi SMA—Mama di kiri gue, dan Papa di kanan gue.
Di depan sana terpasang banner bertuliskan: ‘OLIMPIADE SAINS NASIONAL TINGKAT NASIONAL TAHUN 2003’
Di bawahnya tertulis tulisan yang nggak kalah besar yaitu: ‘GOES TO TOKYO’ dengan logo khas OSN sebelum revisi—yang gue tahu itu logo pertama sebelum diganti pada tahun entah berapa.
Mereka tampak santai, beda halnya dengan gue yang udah neguk ludah entah berapa kali sejak melangkah masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi oleh peserta olimpiade lainnya ini.
Setelah acara dibuka, soal pun dibagikan satu persatu. Di sinilah kesialan gue dimulai tatkala pertama kali Papa bagi lembaran soal itu ke gue.
“Oke, waktu kita ada tiga jam, dua jam setengah pertama kita pake buat ngerjain soal, dan setengah jam berikutnya kita pake buat ngecocokin jawaban. Paham?” ujar Papa sambil bagi tiga lembar ke gue, dan empat lembar ke Mama.
“Iya, ngerti,” balas Mama ketus. Gue? Nggak jawab.
“Gue nomor satu sampe tiga puluh empat, Deirdre dari nomor tiga puluh lima sampe enam puluh lima, dan lo Alanis—”
“Nomor enam puluh enam sampe seratus,” tandas Mama cepat.
“Oke.”
“Mulai!” seru MC yang ada di depan sana.
Di samping kanan dan kiri gue, Mama dan Papa langsung memulai pekerjaan mereka. Tampak juga dari meja-meja lain yang langsung bermain dengan kertas dan coretan-coretan mereka di kertas coretan.
Gue termangu sembari menatap soal di meja.
Gue amati soal-soal yang tersusun dari awal sampai akhir berisi angka diselingi abjad itu dengan seksama.
Matematika.
Dan seumur hidup gue, gue nggak pernah ngerjain Matematika dengan tangan dan otak gue sendiri, bray. Lalu sekarang gue ikut olimpiade Matematika? Heuh, Tuhan sangat mengejutkan ya rupanya.