Gedung berlantai empat yang dominan berwarna putih dengan aksen hijau dan kuning tampak di depanku setelah turun dari bus. Kulihat sudah banyak anak-anak yang berkerumun dan memasuki gerbang. Mereka tampak bercanda dengan teman seperjalanannya.
Setelah menarik napas dalam dan mengembuskannya kuatkuat, aku menggerakkan kaki untuk melangkah maju mengikuti mereka. Sesekali kutengokkan kepala ke kanan dan ke kiri. Netraku berkeliling mencari-cari mungkin ada salah satu atau beberapa orang yang kukenal yang ternyata tidak kutemukan.f
“Ya, mungkin lebih baik nggak ketemu siapa pun yang mengenalku di sini,” gumamku. Sudah cukup pengalaman buruk di SMP, sehingga aku menginginkan kehidupan yang baru di tempat ini.
Beberapa saat kemudian, terdengar kikik tawa di belakangku. Tanpa kutahu siapa pemilik suara itu, tubuhku terlempar ke depan. Beruntung kakiku sigap menopang berat tubuh sehingga tidak jatuh.
“Oh, sori, sori.” Seseorang yang sepertinya tanpa sengaja menabrakku berkata menyesal.
“Nggak apa-apa,” kataku sambil tersenyum.
Kulihat wajah pemuda lugu dengan rambut berantakan berdiri kikuk sambil menoleh ke belakang. Tiga pemuda lain sedang tertawa di sana saat kuikuti arah pandangnya. Melihat situasi yang pernah kualami dulu, tahulah aku penyebab tabrakan tak sengaja tadi.
“Sori, mereka yang mendorongku.” Pemuda yang tampak seumuran denganku meminta maaf sekali lagi untuk sesuatu yang bukan kesalahannya.
Aku memandang tiga anak tadi yang dengan santainya melewati kami. Karena tidak mengetahui masalah sebenarnya, aku memutuskan untuk tidak ikut campur dan berjalan kembali.
“Kamu kelas satu juga?” Pemuda itu kini menjajari langkahku. Sebelum aku sempat menjawab, dia melanjutkan, “Sama. Aku Samuel. Panggil aja Sam atau Sammy.” Tangannya terulur padaku.
“Ezra,” jawabku.
Kami lalu melangkah beriringan dengan sedikit obrolan basa-basi pada umumnya. Dalam hati terasa lega, paling tidak aku sudah mendapat satu teman baru di sini.
“Yang tadi itu … siapa? Kenalanmu?” Aku tidak dapat menyembunyikan rasa penasaranku dengan tiga anak laki-laki tadi.
Sam mengangguk. “Kakak kelas waktu SMP.”
“Kenal dekat?”
“Uhm … nggak juga sih.”
Wajah Sam berubah sendu ketika membicarakan kakak kelas itu. Tanpa dijelaskan pun aku mengerti apa yang telah dialami Sam sewaktu SMP.
“Tadi mereka bilang, itu tanda pertemuan kami kembali di sini. Ya … semacam sambutan selamat datang untukku.” Sam menambahkan.
Aku diam menatap sepatu hitam yang menapaki jalan menuju kelas.
“Oh, nggak usah dipikirin. Udah biasa kok,” kata Sam lagi menangkap sesuatu yang berbeda dariku. “Omong-omong udah tahu kelasnya?”
“Udah. Kelas 1-2.”
“Eh, sama!” seru Sam tampak girang. “Semoga kita bisa jadi teman baik!” Ia mengulurkan tangan yang kusambut dengan senyuman. Teman pertamaku.
Ritual hari pertama sekolah, seperti biasa adalah perkenalan singkat oleh kepala sekolah dan guru masing-masing. Semuanya berlangsung lancar tanpa ada kendala.