Pada akhirnya, aku terpaksa pulang bersama mereka. Turun dari mobil aku langsung menaiki tangga di dekat kasir butik yang masih ramai dengan pelanggan. Beberapa pegawai Emily cekatan melayani mereka dengan senyum ramah. Di lantai dua café juga sama sibuknya dengan di lantai satu. Bunyi mesin kopi dan aroma harum memenuhi seluruh ruangan.
Padahal butik dan café sedang ramai begini, tapi mereka malah berbuat hal yang nggak perlu! Aku bersungut-sungut sambil terus menaiki tangga.
Kudengar derap kaki Emily dan saudaraku yang lain di bawah sana. “Ezra!” Emily memanggil, tapi aku tidak peduli.
Begitu sampai di lantai tiga, kumasuki kamar dengan tergesa dan mengunci pintu. Tas ransel yang tak bersalah kulempar ke sembarang tempat. Benda itu membentur pintu dan terjatuh dengan debam keras.
Tempat tidur dan bantal adalah tujuanku demi tidak menggubris gedoran pintu beberapa saat kemudian.
“Ezra! Ayo, keluar! Kita harus bicara!” Emily berteriak sambil menggedor-gedor pintu.
“Iya, Ez, ayo, kita bicara sebentar!” sahut Eiko.
“Dia kayaknya ngambek deh!” Edith menyeletuk.
“Kak Ez! Jangan ngambek dong! Nanti aku nangis lho!” ancam Echa.
Suara-suara itu masih terdengar meski sudah menutup telingaku dengan bantal. Aku semakin frustrasi dan bangkit menuju pintu.
“Aku nggak mau keluar, sampai kalian berhenti ngelakuin hal konyol kayak gini!” teriakku di daun pintu yang tertutup.
Kembali aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Kupakai earphone dan menyalakan musik dari ponsel. Tombol volume terpasang pada titik paling atas sehingga gedoran di pintu tidak terdengar lagi.
Aku menutup mata dan membiarkan melodi yang menghentak dari penyedia musik di ponsel memenuhi gendang telingaku. Selama beberapa waktu, aku larut dalam dunia dan pikiranku sendiri.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, aku terbangun dengan kondisi ponsel mati. Rupanya benda itu sudah kehabisan daya akibat menyalakan musik secara nonstop. Segera kuisi daya ponsel itu dan beranjak keluar.
Tanganku sudah siap memutar gagang pintu ketika kusadari keadaan di luar tampak sunyi. Tidak ada pergerakan di luar sana, yang artinya, mereka sudah kembali dengan kesibukannya masing-masing.
Jam masih menunjukkan pukul empat sore dan ruangan itu tampak senyap. Biasanya Echa sudah pulang setelah ekskul dan akan menggangu atau meminta sesuatu yang aneh padaku. Edith tidak akan pulang sebelum jam makan malam. Mengingat keramaian di butik dan café tadi, pastilah Emily dan Eiko masih di sana.
Aku menghela napas lega. Akhirnya aku mempunyai waktu untuk diriku sendiri dalam ketenangan. Kuhempaskan tubuh di sofa dan menyandarkan kepala. Netraku menjelajah seluruh ruangan yang tampak berbeda. Bekas piring makan di wastafel sudah tercuci. Tempat sampah sudah kosong dan terisi dengan plastik yang baru. Lantai pun tampak bersih mengilap dengan aroma apel menyegarkan.
Aku tersenyum. Apa yang mereka lakukan ini adalah bentuk permintaan maaf kepadaku, seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini tidak akan semudah itu. Aku memutuskan tidak akan luluh hanya dengan cara basi ini. Mungkin terlihat konyol, tapi sikap mereka juga kekanak-kanakan.
“Kak Ez! Akhirnya keluar juga! Nggak kangen apa nggak ketemu aku?” Entah muncul dari mana, Echa yang sudah mengganti seragam langsung menghambur memelukku yang sedang duduk di sofa dengan televisi menyala.