Aku kembali ke kamarku yang sunyi setelah membersihkan diri. Kuhadapi meja belajar yang berantakan dengan beberapa buku yang belum kusentuh. Embusan napas panjang perlahan lolos dari bibirku.
Sungguh, ini hari yang sangat melelahkan. Seleksi klub basket yang ternyata diketuai Liam, rencana Edith yang kacau, belum lagi keributan di café tadi.
Aku baru mengetahui dari salah seorang pegawai café tadi, bahwa Ren sering datang ke sini hanya untuk bertemu dengan Eiko. Sepertinya pria itu memang berniat mendekatinya. Entah dia benar-benar menyukainya atau seperti pria-pria iseng lainnya yang hanya memanfaatkan kepolosan Eiko.
“Kak Ei gimana sama orang itu?” Aku sempat menanyakan langsung pada Eiko, tapi hanya dijawab dengan senyumnya sebelum membereskan peralatan di dapur.
Seorang pegawai mendekatiku dan berkata, “Sepertinya Kak Ei patah hati. Kak Ez nggak lihat tadi wajahnya ceria sekali waktu Kak Ren datang?”
Aku mengangguk. “Iya, sama kayak sebelum-sebelumnya.”
“Sayang sekali, padahal sepertinya mereka cocok.”
Setelah itu Kak Ei segera menutup café meski masih ada waktu tiga puluh menit sebelum jam kerja berakhir. Aku pun naik ke kamar dan berakhir dengan menatap buku pelajaran yang tidak benar-benar kubaca.
Kalau saja Echa tidak menabraknya, mungkin hubungan mereka masih berlanjut. Tapi, lebih baik ketahuan sekarang buruknya sebelum terlambat dan akan lebih susah melepaskan diri.
Oh, Echa! Tiba-tiba aku teringat anak itu. Bocah yang menjadi pemicu kemarahan Ren. Situasi yang canggung tadi membuatku lupa apa yang menyebabkan gadis itu lari terburu-buru.
Segera kularikan kaki naik ke lantai empat. Aku mengetuk pintu di sisi kiri tangga, kamar Echa dan Eiko.
“Cha! Echa! Kamu belum tidur, ‘kan?” teriakku sambal menggedor pintu. Terlintas di pikiranku, bahwa caraku mengetuk pintu sama dengan Emily. Sementara Edith dan Echa biasanya langsung masuk tanpa permisi. Eiko, dari empat saudaraku, mungkin dialah yang paling kalem dan tahu sopan santun.
Wajah Echa muncul di balik pintu yang terbuka sedikit. “Berisik banget sih, Kak Ez!” semburnya dengan bibir cemberut.
Netraku mengintip celah di atas kepala Echa. Di kamar yang terdiri dari dua tempat tidur, punggung Eiko tampak bergeming di salah satunya.
“Kak Ei nggak apa-apa. Dia lagi chatting sama Kak Ren. Kayaknya Kak Ren benar-benar menyesal,” jelas Echa tanpa kutanya. “Cuma … Kak Ez tahu sendiri gimana Kak Ei. Dia akan menolak siapa pun yang mengganggu kita, adik-adiknya. Meski itu menyakiti dirinya sendiri.”
Tambahan kalimat Echa membuatku tertegun. Aku melihat bahu Eiko yang turun, menandakan dia sedang dalam kondisi yang tidak baik. Mungkin sulit baginya untuk memilih hati atau keluarga.
“Kak Ez sendiri ngapain ke sini? Ini kamar cewek!” Echa berkata ketus.
Aku mendengus kecil. “Hah, gara-gara siapa coba masalah ini terjadi? Karena kamu tiba-tiba menerobos masuk, jadinya begini deh.”
Echa tertawa kecil. Ia memain-mainkan rambut dengan ujung jarinya. Kemudian aku teringat tujuanku ke sini.
“Oh, Cha, tadi kamu ngapain buru-buru lari?” tanyaku.
Mata Echa dan mulutnya kompak membulat. Namun, sejurus kemudian bibir mungilnya mengatup lagi. “Nggak jadi. Besok aja deh. Aku juga ngerasa nggak enak sama Kak Ei. Gara-gara aku ….”
Aku mengangguk pelan lalu menyentil dahi Echa. “Iya, ini semua gara-gara kamu!”