Me and The Sisters

Lirin Kartini
Chapter #10

Bab. 10 - Rencana Edith

Edith berlari mendatangiku. Apa lagi ini? keluhku lemas.

“Tunggu, Ez!” Dengan napas terengah, Edith membungkuk dan berusaha mengatur napasnya. Sepertinya ia berlari cukup jauh untuk sampai di sini.

“Dek, jadi naik nggak?” Sopir bus menegur.

Aku tersadar sebelah tanganku masih berpegangan pada pintu bus. Buru-buru aku menggeleng, “Maaf, Pak, nggak jadi naik.”

“Bilang dong dari tadi! Yang lain udah nunggu tuh! Dasar, anak zaman sekarang!” Sopir bus itu menggerutu sebelum menjalankan kendaraannya.

Netraku menatap Edith yang masih kepayahan untuk berdiri. Aku jadi iba melihatnya. Edith menurut saat aku menariknya minggir dari tepi jalan dan menyuruhnya duduk di trotoar.

“Kenapa, Kak? Sampai lari-lari gitu?” tanyaku berusaha tidak mempedulikan beberapa anak yang lewat dengan tatapan heran dan gelengan kepala. Sepertinya predikat pembuat onar telah tersemat pada diriku dengan berbagai masalah yang datang bertubi-tubi.

“Iya, bentar … aku masih capek …,” jawab Edith. Wajahnya berkeringat dan napasnya masih tersenggal, tapi ia tersenyum.

“Jangan bilang kalau ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku, saat Edith mengangguk dan mengacungkan dua ibu jarinya. Rasanya aku ingin meninggalkannya di sini kalau tidak ingat dia adalah kakakku.

“Kamu emang yang terbaik! Nggak salah Echa memujamu.” Kata-katanya semakin membuatku tidak nyaman. Tinggal bersama saudara dengan kelakuan yang unik, akan membuatmu mengerti bahwa di balik setiap pujian atau hadiah, akan ada harga yang harus dibayar.

“Apa lagi kali ini?” Aku menyandarkan tubuh pada batas pagar. “Kak Ed ini ngapain aja sih di kampus? Niat kuliah atau demo? Nggak sayang tuh beasiswa? Udah dapat peringatan, ‘kan?” omelku.

Edith tertawa. “Kamu ini kayak Mama, ngomel aja. Tapi, kamu emang paling mirip sama Mama.”

Aku mengibaskan tangan tak peduli. “Nggak usah bawa-bawa Mama segala. Cepat bilang Kak Ed mau apa datang ke sini!”

“Kamu nggak ada acara lain, ‘kan?”

Aku menggeleng. Tujuanku memang langsung pulang setelah hari yang melelahkan ini.

“Nah, bantu aku sekali ini aja. Ikut aku, ya?” pinta Edith. Ia lalu mengeluarkan bungkusan dari ransel besar yang mirip kantong Doraemon dengan berbagai benda di dalamnya.

Aku membuka bungkusan itu dan melihat sebuah kemeja baru yang masih ada label harganya. Juga celana panjang hitam yang kukenali sebagai milikku. Edith pasti membongkar lemariku lagi.

“Kak!” Aku menahan suara supaya tidak emosi mengingat bukan sekali ini Edith melanggar daerah pribadiku.

“Tunggu! Aku tahu kamu mau bilang apa. Tapi, itu bisa menunggu nanti.” Edith menutup mulutku. “Sekarang kamu ganti seragammu dengan ini lalu ikut aku. Sana ganti!” Ia mendorongku untuk segera berdiri dan menuruti kemauannya.

“Tapi, janji ini yang terakhir!” tegasku. “Aku nggak mau lagi terlibat dalam urusan Kak Ed!”

“Iya, iya, udah sana ganti baju. Aku tunggu di sini. Buruan! Ntar telat!” Edith melambaikan tangan menyuruhku pergi.

Aku kembali memasuki gerbang dan menuju toilet terdekat. Kukeluarkan kemeja baru itu dari bungkusnya dan memotong label harga yang masih menempel. Harga kemeja ini cukup lumayan untuk seorang mahasiswa. Terkadang aku bingung dari mana Edith mendapat uang karena Emily sangat membatasi dan memperhitungkan setiap pengeluaran.

Lihat selengkapnya