Beberapa hari berlalu Tania benar-benar membatalkan pernikahannya dengan Rion. Bahkan cincin pertunangan yang biasanya ia pakai kini telah lepas dari jari manis kirinya. Walau ia minta putus dengan percaya diri tapi setelah itu hatinya gundah kembali. Terkadang terbesit dalam benaknya untuk menghubungi Rion dan menanyakan kabarnya. Namun hal itu cepat-cepat dicegah Asti.
Dalam pekerjaan pun ia menjadi lebih sering bengong. Bengong memikirkan bagaimana ia akan menyampaikannya ke keluarga besarnya dan orang tua Rion. Padahal pernikahan impiannya hanya tinggal selangkah lagi tapi jika mengingat omongan Asti membuatnya berpikir bahwa hal ini adalah hal yang tepat. Ia tak ingin seumur hidup mengalami kekerasan dari suaminya. Ayahnya saja belum pernah memukulnya kenapa dia yang belum menjadi suaminya sudah berani main tangan.
Melihat Tania, Asti selalu memberikannya coklat. Ia bilang saat hati sedih coklat bisa membantu. Awalnya Tania menolak dan bahkan ia tak mempedulikannya. Tapi melihat Asti yang tulus mempedulikannya membuat hatinya bergetar. Ia merasa bersalah karna diawal ia mengenal Asti seringkali ia membicarakan Asti di belakang tanpa tau sifat Asti yang sebenarnya.
“Bebs ke atrium yuk! Gue pingin makan ayam di sana!” ajak Mery. “Hmm boleh!” ujar Tania malas. Tiba-tiba ia memandang Asti yang tengah beranjak akan pulang. “Asti makan yuk ke atrium!” ajaknya. Mulut Mery menganga mendengarnya. Ia menyikut Tania, “Psst… Ngapain sih elo ajak si gendut itu ikutan juga?! Malu-maluin tau!” bisiknya. Tania mengalihkan pandangannya dan memandang Mery dingin. Ia seakan tak terima Asti dibicarakan begitu, “Kalo Asti nggak ikut gue juga nggak ikut!” ancamnya. “Haaaah???”