Zuan terbangun saat pintu rumah ibunya diketuk. “Sebentar!” teriaknya sambil meletakkan foto ibunya yang sedari malam ia peluk menemani tidurnya. “Ngapain elo ke sini?!” ujar Zuan dingin tatkala melihat ayahnya tengah berdiri di sana. “Ehmmm… Bapak mau liat keadaanmu?!” ujarnya dengan terbata. “Bapak???! Siapa bapak? Gue nggak punya bapak! Gue cuma punya ibu!”.
“Maafin bapak! Bapak tau bapak nggak pantes buat dimaafin karna kesalahan bapak besar ke kamu!”. “Ya udah kalau tau nggak bisa dimaafin mending loe pergi!”. “Tolong beri bapak kesempatan, bapak ingin nebus semua kesalahan bapak selama ini!”. “Hahaha nebus kesalahan? Kenapa baru sekarang?! Kenapa setelah ibu nggak ada? Asal loe tau gue nggak butuh elo karna gue udah anggep loe mati semenjak loe ninggalin kami. Tapi ibu….. Ibu yang sebenernya butuh elo! Tiap malem ibu selalu nangis karna elo! Hah….. Udahlah mending loe pergi dari sini sebelum gue bertindak kasar!” ujarnya yang hendak menutup pintu. Namun cepat-cepat ayahnya mencegahnya.
“Kalo kamu belum bisa maafin bapak sekarang nggak papa! Tapi tolong terima Ini! Kemarin bapak liat motormu udah tua udah nggak layak pakai jadi bapak beliin motor baru buat kamu. Tolong terima!” ujarnya sambil menyerahkan kunci motor ke tangan Zuan. Kemudian ia pergi meninggalkan Zuan sambil menangis tanpa suara.
Zuan menatap motor beat berwarna hitam keluaran terbaru yang terparkir depan pintu rumahnya. “Bego! Mobil pun bisa gue beli sekarang!”. Ia lalu membanting kunci motor itu ke lantai dan terduduk di sana. Ia menundukkan kepalanya. Bayangan ibunya dulu yang diam-diam menangis di tengah malam terlintas jelas di benaknya. Setiap malam di saat ibunya mengira Zuan sudah tertidur, ia selalu menangis mengingat akan suaminya yang pergi meninggalkan mereka karna perempuan lain. Setiap berhadapan dengan Zuan ibunya seakan pura-pura terlihat tegar tapi waktu malam barulah ia menampakkan perasaan yang ditutupinya. Melihat ibunya menangis Zuan pun selalu ikut menangis dalam diam.