Sejak pertemuan pertama, Jupri selalu meminta Asti untuk bertemu. Sebenarnya Asti sangat malas tapi karna paksaan dari ibunya ia pun menyanggupinya. Sudah dapat dibayangkan Asti bahwa pertemuannya dengan Jupri selalu terjadi komunikasi satu arah. Hanya Jupri yang akan berbicara sambil membangga-banggakan dirinya. Dan lagi itu-itu saja yang dia bicarakan sampai Asti hapal setiap kalimat dan tawa Jupri.
Sangat menyebalkan saat Jupri mengajaknya makan yang membuatnya enggan menghabiskan makanannya karna melihat cara makan Jupri yang tak sopan dan terlihat….. Menjijikkan. Belum lagi saat mereka jalan berdua mereka akan menjadi pusat perhatian. Bukan pusat perhatian karna iri tapi karna sebal. Suara Jupri yang menggelegar saat bercerita sangat mengganggu pengunjung yang lain. Dan lagi saat mereka mencapai kasir Jupri tak pernah sekalipun mengeluarkan dompetnya dan hanya buang muka ke arah lain seakan pura-pura tak melihat. Selalu saja Asti yang membayar semua tagihan makan mereka berdua. Sebenarnya Asti tak perhitungan dalam mengeluarkan uang untuk makanan mereka berdua tapi ia merasa bahwa Jupri hanya memanfaatkannya saja untuk membayar makanannya dengan alibi jalan.
Asti mendaratkan kepalanya ke meja kerja. Memikirkan hari ini membuatnya menjadi tak konsen dalam rapat tadi. Trrrriiiiinggg!!! Bunyi handphonenya. “Nak jangan lupa pulang ya!” ujar ibunya dari sebrang. “Iya bu!” ujarnya lemas.
“Asti!” panggil suara yang sangat dikenalnya dari belakang. Jantungnya berdegub kencang dan wajahnya tiba-tiba memerah. Ia membalikkan badannya. “Iya pak!” balasnya. Harvin tersenyum dan mengusap kepalanya, “Udah dibilangin jangan panggil bapak!”. “Kan ini di kantor!”. “Tapi kan udah nggak ada orang! Hmm… Katanya ada restoran steak baru deket sini! Mau makan di sana?” ajaknya. Rasanya Asti ingin langsung mengiyakan, tapi….