ME(N)U

Mizan Publishing
Chapter #2

Stranger

Ini masih tentang aku dan kamu.

***

“Gila, hari ini panas banget. AC-nya rusak kali, ya.”

Keluhan yang terucap dalam bentuk gumaman itu, sudah berulang kali Netta dengar hari ini, dari orang yang sama. Dia tidak menyalahkan keluhan itu, karena dia juga merasakannya. Berulang kali dia mengusap peluhnya yang menetes. Padahal dia hanya sedikit terkena sinar matahari yang menyusup dari jendela, tapi itu sudah mampu membuat peluhnya merembes ke luar. Dia khawatir punggungnya sekarang sudah dipenuhi bercak keringat.

“Lo enggak kepanasan apa?” tanya Lala penuh keheranan, masih dengan suara pelan. Dia gadis dengan wajah oriental. Kulit kuning, rambut sepunggung. Lala sudah menjadi teman Netta dan sekelas dengannya sejak masuk kuliah. Beruntung anggota kelasnya tidak ada yang di rumah sama sekali, dari semester satu sampai sekarang.

“Netta! Denger enggak, sih?”

“Denger, kok. Gue juga ngerasa panas.” Netta mengusap keningnya dengan punggung tangan dan menunjukkannya pada Lala, sebagai bukti. “Nih. Udah, jangan ribut, La. Nanti dimarahin!”

Bukannya Netta tidak mau berbicara dengan Lala. Dia hanya tipikal mahasiswa yang tidak mau mengambil risiko. Dia tahu, sekali mendapat teguran, namanya akan diingat terus oleh dosen. Dan itu tidak baik.

“Enggak didengar ini,” sahut Lala acuh.

Netta hanya menghela napas dan kembali fokus pada penjelasan dosennya. Matanya sesekali menyipit, agar memudahkannya melihat kalimat yang tak terlalu jelas di proyektor.

***

Lengannya dicolek, membuatnya harus berhenti menulis. Bisa saja dia mengabaikan Lala dan tetap fokus pada mata kuliah ini. Hanya saja, mengetahui sifat cerewet Lala, dia pun tak punya pilihan.

“Kenapa?” Netta berbicara nyaris berbisik. Dia melihat ke depan berulang kali, memastikan mereka aman.

“Lo tahu kalau itu membosankan?”

“Hah?”

“Iya.” Lala menyugar rambutnya. “Lo enggak bisa diajak ngomong waktu lagi kayak gini.”

“Gue udah bilang, gue takut ketahuan.”

“Ketakutan lo itu malah bikin hal yang enggak terjadi, bisa terjadi.”

Netta terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang pas. “Gue bukan lo, La. Gue penakut.” Dia memutar tubuhnya lagi, menghadap ke arah papan tulis. Menggerakkan kembali tangannya.

“Dih.” Lala mencondongkan tubuhnya ke arah Netta. “Kok, bisa sih, Kak Aiden suka sama lo, Net?

Bukan gimana-gimana, nih. Cuman nanya aja.”

Netta berusaha untuk tidak menunjukkan amarahnya. Dia sekuat tenaga menahan rasa sakit yang ditimbulkan kalimat Lala—yang mungkin tidak dimaksudkannya. Darahnya mendindih dan hatinya berdenyut nyeri.

“Enggak tahu, coba tanya sama Kak Aiden sana.” Dia tidak bermaksud jutek, tapi kalimatnya tetap terdengar seperti itu.

“Aduh, jangan baper dong, Net!” seru Lala dengan riang. Seolah-olah ucapannya tadi hanyalah sebuah lelucon. “Gue kan, cuman nanya doang. Lo tahu gue bercanda, kan?”

Netta tidak menanggapi. Dia memilih untuk benarbenar memperhatikan dosen. Membiarkan Lala dengan ocehan yang tidak mau dia dengar. Dia sudah telanjur emosi pada ucapan terakhirnya.

Baper.

***

Koridor kampus sedang ramai dan penuh orang yang sedang bergosip seperti biasa. Netta melangkah, melewati kerumunan cewek yang berada di sisi kanan koridor. Dia membawa dua buku yang dipinjamnya dari perpustakaan, yang akan dia jadikan bahan untuk mengerjakan skripsi. Meskipun belum duduk di semester akhir, dia berencana akan mulai menyusun dari sekarang. Melihat banyaknya kakak tingkat yang judulnya dicoret ketika mereka mengajukannya pada dosen, Netta jadi takut sendiri. Prasangka buruk kadang menggelayuti pikirannya.

Dia melangkah cepat, menghindari orang-orang yang berlalu lalang dan berjalan menuju kantin.

Suasana di sana pun ramai. Tak mau membuang waktu, Netta melangkah ke bangku kosong yang bisa ditangkap oleh matanya. Siapa cepat dia dapat. Dia duduk sambil mengembuskan napas, lelah. Kuliah tadi membuat energinya terkuras habis.

Dia mengeluarkan ponselnya, mengecek apakah ada pesan dari pacarnya yang sudah empat tahun menjalin hubungan dengannya. Dia pun tersenyum ketika mendapati pesan darinya.

Aiden: Udah kelar?

Aiden: Cie yang serius kuliah, enggak balas chat.

Netta tersenyum geli. Laki-laki itu sudah sedikit berubah. Dia tidak lagi mengirim pesan dengan terlalu singkat, meski mungkin itu hanya ditujukan untuk Netta seorang. Netta menyukai perubahan kecil yang menyenangkan ini. Jadi, dia tidak perlu bingung lagi untuk menjawab pesan dari laki-laki itu.

Netta membalas dengan kedua siku yang dia tumpukan di meja,

Netta: Ya dong, biar pintar. Biar enggak kalah sama pacarku.

Tubuh Netta merinding. Meski kalimat itu dia ketik sendiri, dia belum cukup terbiasa dengan tingkah seperti itu. Netta merapikan rambutnya, sembari menunggu. Dia tanpa sadar mulai mengingat masamasa bersama Aiden.

Dengan waktu yang terus berjalan, Netta bersyukur Aiden masih menyukainya. Yang membuatnya lebih lega lagi, sikap mengontrol dari laki-laki itu juga sedikit-banyak berubah mengingat bahwa waktu mampu membuat seseorang berevolusi.

Aiden memang masih mengaturnya seperti dulu, bedanya tidak terlalu sering lagi. Ada jeda yang diberikan oleh Aiden sebelum laki-laki itu benar-benar memaksa Netta untuk mengikuti keinginannya. Netta sendiri juga merasakan sedikit perubahan dalam dirinya. Dia tidak lagi menjadi pacar yang terlalu bingung untuk berkomunikasi dengan Aiden.

Pasti orang ini lagi ketawa, makanya dia enggak balas chat, batin Netta ketika menit di ponselnya berganti. Kenapa juga gue harus jawab kayak gitu, sih? Kan, malu sendiri.

Ponselnya berbunyi beberapa kali, beriringan dengan pop up chat.

Aiden: Siapa yang ngajarin kamu gombal?

Netta: Bukan gombal, itu tuh beneran.

Aiden: Masa? Emang aku pinter?

Netta: Banget.

Aiden: Oh. Pinter ngerebut hatimu, ya?

Senyum Netta merekah. Beruntung Aiden tidak berada di hadapannya, jadi cowok itu tidak perlu melihat semerah apa mukanya sekarang. Kalau Aiden mulai ‘aneh’ seperti ini, Netta harus menyiapkan hatinya untuk tidak jantungan.

Satu nampan yang muncul di hadapan Netta membuatnya mendongak.

Lihat selengkapnya