Me Vs Me

ani__sie
Chapter #4

4. Kapan pun harus menulis

Tahu kah kalian bagaimana rasanya saat kau mempumyai impian sebagai penulis namun di sisi lain tidak tahu harus bagaimana mengirimkan naskah? Kemana harus mengirimkannya? Dan hanya bisa mengembangkan diri dengan terus menulis dan menulis?

Dilema dengan perasaan tak menentu. Persis seperti itulah perasaan yang ku rasakan.

Setahun terakhir itulah yang selalu berada di benakku. Membuatku selalu menghela nafas di sela-sela saat aku menulis.

Namun tahun ini seberkas sinar menghampiriku. Aku sedikit menemukan jalan. Menemukan aplikasi yang membuatku dapat menampilkan tulisanku di sana. Selain itu di sana juga banyak publishing house. Memberi motivasi untukku agar lebih semangat, sekaligus memberiku harapan dengan berharap karyaku dapat dilirik oleh mereka.

Yang membuatku lebih semangat lagi adalah saat ini aplikasi tersebut sedang melakukan kompetisi menulis novel. Info yang membuat perasaannku sumringah dengan hati yang antusias. Jelas aku akan mengikutinya. Ini kesempatan emas. Pikirku.

Setelah submit aku mulai menulis sesuai tema yang ditentukan.

Melakukan beberapa riset dengan menggunakan google sambil terus menulis.

"Alunaaa...." seruan terdengar nyaring dari depan rumah Kakakku yang berdiri berdampingan dengan rumahku.

Ya, aku juga memiliki seorang kakak yang sudah menikah bahkan sudah punya dua anak yang sama-sama duduk di sekolah menengah pertama. Kelas tujuh dan kelas delapan.

Kehidupan keluarganya sama sederhananya. Jadi Ibu dan aku tidak ingin membebaninya.

"Alunaaa....," panggilannya terdengar lebih nyaring lagi dari kamarku.

"Iyaaaa...," balasku dari kamar dengan nada berteriak.

Aku yang semula sedang menulis di aplikasi itu menggunakan hpku spontan menghentikan ketikan jemariku. Menyimpan tulisannya. Menaruh hp yang semula ku pegang ke atas kasur. Beranjak keluar dari kamar dengan langkah cepat menuju sumber suara. Depan rumah kakakku.

Aku yakin, jika aku tidak bergegas muncul, panggilan nyaring bagai sirine itu pasti akan terdengar lagi. Lagi dan lagi. Karena aku tahu bagaimana Kakakku.

"Apa sih?" tanyaku dengan nada sedikit ketus sesampainya di depan rumah kakakku.

Ku lihat di sana ada Ibu, kedua keponakanku, dan yang pasti juga kakakku.

"Apa sih? nih makan baso nih. Di kamar terus kaya penganten baru aja," jawab kakakku sembari mengejekku.

Lihat selengkapnya