"Lun, Aluna sini Lun," panggil seorang ibu-ibu yang ku lihat sedang mengobrol dengan ibu-ibu lain yang berjumlah lima orang sedang lesehan di depan rumah yang beralaskan keramik.
Sepertinya mereka sedang asyik ngerumpi.
Lambaian tangan Ibu itu membuatku menghampirinya. Fokus mereka pun kini berganti ke arahku.
"Ada kue apa aja, lun?" tanya ibu-ibu yang memaggilku tadi.
"Ada cucur, pancong, kolong-kolong, dan bugis." Ku sebutkan satu persatu kue tradisional yang siang ini ku jual.
"Ibu mau pancongnya lima ya Lun."
"Hm." Aku segera membungkusnya sesuai permintaan.
"Aku cucurnya dua Lun."
"Coba bugisnya lima biji."
Aku dengan cepat membungkus semua pesanan. Dan mereka pun memberikan uangnya padaku.
Semoga kue-kue ku laris dan habis hari ini. Batinku berguman dengan senyum yang sedikit mengembang di bibir.
"Sebentar ya Lun, Ibu ambil uangnya dulu di dalem," ucap Ibu-ibu yang memanggilku tadi.
Aku tersenyum seraya mengangguk.
Selama aku menunggu Ibu yang tadi memgambil uang di dalem rumah, di luar aku terperangkap di tengah-tengah ibu-ibu yang sedang ngerumpi.
"Wih, sepertinya gelang emasnya baru beli ya Bu Intan? Terlihat kilaunya masih kinclong."
"Iya nih, baru kemaren dibeliin suami,"
"Berapa gram Bu Intan?" tanya Ibu-ibu yang lain.
"Dua puluh gram," jawab Bu Intan pelan namun terdengar mantap.
Ah, aku hanya terdiam dengan sedikit menyunggingkan senyum. Entahlah hatiku merasa aneh. Iri mungkin.
"Wih, tapi Bu Yuli juga baru beli mobil baru ya, Bu?" Ibu-ibu lain ikut menyahut berpindah ke Bu Yuli.
"Bukan beli tapi kredit."
"Tapi tetep mobil baru, kan?"
"Iya sih tetep alhamdulillah," lanjut Bu Yuli lagi.
Dan masih banyak lagi rumpian mereka sambil haha hihi tertawa dan membuatku semakin merasa tidak nyaman.
Aku ingin segera pergi dari sana. Untungnya Ibu tadi yang di dalam segera keluar. Setelah dibayar aku segera pergi dari sana. Menghela nafas dalam saat keberadaanku sudah jauh dari mereka.
"Pancong... cucur... bugis..," seruku lagi menawarkan daganganku. Berharap orang tertarik untuk membeli. Terus berseru dengan langkah yang terus berjalan.
Di tengah-tengah langkahku menyusuri jalan di tengah pemukiman, aku melihat di depan rumah seorang warga ada seorang yang kutebak adalah ayahnya yang sedang memberikan sepeda baru pada seorang remaja. Remaja itu terlihat senang dan langsung memeluk lelaki yang ku tebak ayahnya itu.