Hari minggu. Cuaca terlihat cerah bersinar.
Pukul sembilan pagi matahari sudah terasa menyengat kulit. Tapi itu tak sedikit pun mengurungkan niatku untuk pergi ke toko buku. Aku akan pergi sendirian.
Sebenarnya semalam aku sudah mengajak kedua keponakanku untuk pergi bersama ke toko buku tapi mereka menolak.
Keponakanku yang pertama bilang di hari minggu dia ada kerja kelompok dengan teman sekelasnya. Sedangkan keponakanku yang satu lagi tidak suka ke toko buku. Katanya itu membosankan. Dia tidak suka.
Aku bersiap-siap. Memakai hoody sebagai atasan dan rok rempel sebagai bawahannya. Memakai hijab instan kemudian dilengkapi dengan sepatu cat yang terlebih dulu dipakaikan kaus kaki.
"Ibu, aku pergi," pamitku semabari bersalaman.
"Jadi ke toko bukunya?"
"Hm," jawabku singkat.
"Buat apasih ke toko buku? Kamu kan sudah tidak sekolah," lanjut ibu saat aku baru saja melepaskan tangannya.
"Bukan buat apa-apa. Sekali-kali jalan-jalan saja, Bu. Sedikit refresing," jawabku asal dan sekenanya sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah.
Ibu tidak mengerti. Dipikirnya yang berhubungan dengan buku itu hanyalah seorang pelajar dan yang masih sekolah. Tapi aku tidak menyalahkannya. Ya, karena memang Ibu tidak mengerti tentang hal-hal seperti itu. Makanya aku lebih nyaman tidak memberitahunya tentang impianku menjadi penulis. Aku lebih nyaman merahasiakannya. Lagi pula ibu mungkin tidak akan mengerti.
Tapi itu tak membuatku meremehkannya. Dia tetaplah seorang ibu yang hebat yang sangat aku hormati.
Setelah turun dari angkot aku berjalan beberapa meter untuk sampai di depan toko buku, dan segera masuk ketika sampai.
Aku menyusuri lorong demi lorong toko buku dengan pandangan yang terus tertuju pada rak demi rak yang mendisplay buku-buku dan sesekali berhenti untuk melihat buku yang menarik perhatianku. Dan kembali berkeliling untuk melihat buku-buku dan novel lainnya.
Setelah lama berkeliling, aku melihat novel yang sangat menarik perhatianku dari segi sampul dan juga judulnya.
Aku mendekat. Mencoba melihatnya lebih jelas. Namun sayangnya novel itu berada di barisan atas yang membuatku kesulitan untuk mengambilnya meski kakiku sudah sepenuhnya berjinjit.
Tanganku kesulitan untuk meraihnya. Namun walau sulit aku masih terus berusaha hingga leherku terasa sakit karena lama mendongak.
Saat tanganku tak kunjung bisa meraihnya, tiba-tiba saja ada tangan yang meraih novel itu tepat di atas tanganku.
Aku seketika menghentikan gerakan tanganku. Berhenti berjinjit. Dan setelah beberapa detik kemudian menarik tanganku ke bawah. Mematung beberapa saat.
"Ini." Suara itu terdengar beriringan dengan tangan itu yang menyodorkan novelnya tepat di depan wajahku.
Meski ragu aku mengambilnya. Menoleh lalu berterima kasih dengan sedikit menundukkan kepala lalu menghadapkan wajahku lagi ke depan. Menghadap ke rak buku.
Aku mengamati sampul depan novel yang ku pegang.
Fatih Al hafidz. Nama yang tidak asing. Sungguh kebetulan.
"Sukses berawal dari pikiranmu. Apa sebelumnya kau sudah pernah membaca novel karya penulis itu?" Kalimatnya sedikit membuaku terkejut. Aku tidak menyadari ternyata dia belum juga beranjak dari tempatnya. Tetap berada di sampingku.
Aku yang kikuk menjawab pelan.
"Tidak, ini pertama kalinya bagiku."
"Sukses berawal dari pikiranmu, novel itu bercerita tentang semangat seorang pemuda yang selalu mengafirmasi diri bahwa dia bisa sukses meski pun kehidupannya sulit," jelasnya tanpa ku minta.