Aku masih menjalani hari-hari dengan kemalasan yang membelenggu diri.
Aku masih berperang sengit dengan diriku sendiri.
Me vs Me, pertarungan yang sangat sangat melelahkan.
Aku tidur terlentang. Merentangkan kedua tanganku. Menghadapkan pandanganku ke atas langit-langit kamar. Otakku ramai penuh pemikiran, ketakutan, serta kegelisahan.
***
Pagi harinya, kesibukan tahunan pun dimulai. Musim panen di kampungku tiba. Ibuku yang berprofesi sebagai buruh tani tentu akan sibuk pada saat musim panen.
Ibu akan memanen setiap sawah yang dia ikut menanamnya pada musim tanam dulu.
Pemilik sawah akan membaginya beberapa kotak pada setiap petak sawah sesuai berapa orang yang menanamnya dulu. Begitulah sistem di kampungku.
Aku pun jelas akan sibuk karena akan membantu ibuku. Dari pagi pulang siang, dan dari siang pulang sore. Karena itulah saat musim panen aku sementara berhenti berjualan kue keliling.
Pukul enam pagi aku dan ibu sudah berangkat dari rumah. Berjalan menuju pesawahan.
Ibu yang membawa gebyoknya yang ia taruh di atas kepala. Gebyok merupakan nama alat tradisional di kampungku yang terbuat dari kayu atau bambu yang berfungsi untuk merontokkan padi dari tangkainya.
Aku sudah memintanya agar aku saja yang membawanya, tapi ibu tidak mengijinkannya. Aku berjalan di sampingnya. Di jalanan beraspal sebelum akhirnya masuk ke jalan setapak yang kanan kirinya pesawahan.
Di hari yang masih pagi itu aku menghirup udara yang masih terasa segar belum banyak terkontaminasi dengan polusi dari kendaraan yang terus berlalu lalang.
Di pundak bagian kananku ku selempangkan tas yang terbuat dari kain yang berisikan sebotol air minum dan dua arit atau alat pemotong padi yang akan digunakan oleh aku dan ibu nantinya.
Dalam perjalanan itu aku melihat orang-orang yang akan berangkat kerja dan juga berkuliah karena dilihat dari jasnya. Seketika membangkitkan kesedihanku.
Orang-orang terus melangkah maju. Sepertinya hanya aku yang berhenti berjalan. Batinku sambil menatap sepeda motor yang terus melaju menjauh meninggalkanku.
Aku dan ibu terus berjalan selangkah demi selangkah di jalanan beraspal.
Di saat orang-orang sedang berjuang di luar sana, aku justru masih saja bertarung dengan diriku sendiri. Menyedihkan. Batinku lagi lalu menghela nafas pelan, berharap ibu tidak mendengarnya.
Aku dan ibu kini sudah mulai berjalan di jalanan setapak yang kiri kanannya pesawahan.
Sesampainya di petak sawah yang di tuju, aku dan ibu segera turun ke sawah. Bersiap memotong padi dengan arit yang kubawa.
Ibu dan aku sudah mulai memotong padi. Setelah sudah banyak terkumpul tumpukkan padi yang berceceran tak beraturan, aku berhenti memotong dan berganti menumpuknya satu persatu di satu tempat hingga menjadi satu tumpukkan besar.
Setelah selesai membabat, ibu dan aku langsung memukulkan tangkai padi yang sudah penuh berada di genggaman tangan ke papan kayu atau gebyok dari atas ke bawah secara berulang kali sampai semua bijinya lepas dari tangkainya yang kemudian akan jatuh ke bawah gebyok yang sudah kami alasi terpal.
Aku melakukan itu bergantian dengan ibu, karena jika bersamaan akan sempit dan semakin menyusahkan.
Matahari yang sudah semakin naik membuat panas terasa semakin terik. Setelah selesai dan membereskan semuanya aku dan ibu pulang melewati jalan setapak sebelum akhirnya sampai di jalan raya beraspal.
Sesampainya di rumah aku segera membersihkan diri bergantian dengan ibu. Setelah melihat jam dinding ternyata sudah pukul setengah sebelas siang.
Aku tidak perlu memasak lagi. Kakakku sudah memasakkan lauk-pauk untukku dan ibu.
Aku beristirahat sejenak sebelum aku dan ibu akan kembali ke sawah setelah solat zuhur. Di petak sawah lainnya.
"Aluna..." suara terdengar dari luar pintu kamarku. Aku yang sedang tiduran spontan beranjak duduk dan tidak lama mendengar kenop pintu kamarku diputar. Kakakku masuk mendekatiku.
"Ini, Kakak belikan es teh takut kamu haus," ujarnya sambil meyerahkan es teh yang dupegangnya padaku. Kakakku lalu keluar dari kamar.
Lihat perhatiannya. Dia benar-benar mengerti aku meski aku tidak memintanya. Perhatian yang kemudian memunculkan keinginan di hatiku untuk membahagiakannya. Namun jika melihat keadaanku sekarang kesedihan seketika muncul di hatiku. Karena saat ini aku benar-benar sedang dalam keadaan terburuk. Tidak mungkin bisa membahagiakannya.
Bisakah aku membahagiakannya? Batinku seraya terus melihat punggungnya saat kakakku berjalan menuju pintu kamarku lalu keluar.
Aku pernah membaca bahwa orang baik terlihat lebih menakutkan. Menakutkan karena takut tidak bisa memperlakukannya lebih baik dan takut akan mengecewakannya.
Mengingat itu aku hanya bisa menghela nafas dalam. Lalu meminum es teh yang diberikan kakakku untukku. Kebetulan memang di rumahku tidak ada kulkas atau lemari pendingin.
Sejak kemalasan mengambil alih kendali hidupku, aku menjadi sering menghela nafas dalam.
Aku menghabiskan es teh yang kakakku berikan dan terakhir mengunyah es batunya yang belum mencair, lalu menghela nafas dalam lagi.
***
Setelah solat zuhur aku dan ibu kembali ke sawah. Kembali untuk mengais rejeki tak peduli meski panas menyengat kulit. Itu sama sekali bukan halangan sedikit pun.
Aku dan ibu bekerja dengan cepat, tak ingin menyia-nyiakan waktu meski ibu ada kalanya istirahat saat memotong padi karena punggungnya yang terasa sakit. Aku mema'luminya. Bagaimana pun di usia ibuku itu tidak seharusnya dia masih bekerja keras seperti itu.
Saat aku mengingat itu dan menyadari diriku yang sedang dalam keadaan terburuk dibelenggu oleh kemalasan hingga menyia-nyiakan waktu yang seharusnya ku pergunakan untuk berjuang meraih mimpi-mimpiku dan membuatnya bahagia, membuatku sangat membenci diriku sendiri. Aku benar-benar ingin membunuh bagian diriku yang ini.
Saat aku tengah memotong padi tanpa terasa air mata menetes dan mengalir di pipi yang kemudian segera ku seka dengan punggung tanganku.
"Aluna, kamu benar-benar menyedihkan," gumamku lirih membuat air mataku terus luruh tak tertahankan.