Me Vs Me

ani__sie
Chapter #12

12. Berperang

Aku tidak boleh menyerah, bukan?

Tidak boleh menyerah pada kemalasan yang sedang membelenggu hatiku saat ini. Jika aku menyerah dan membiarkan saja kemalasan menguasai jiwaku tanpa melawannya, aku pasti sudah jelas akan hancur.

Hidupku akan menjadi berantakan dan aku menjadi pecundang.

Tapi jika aku setidaknya berperang melawannya meski pun belum tentu dapat memenangkannya, setidaknya aku masih mempunyai harapan bahwa hidupku bisa diperbaiki dan tidak akan hancur.

Jadi, aku harus tetap semangat. Harapan, meski sekecil apa pun tetaplah sebuah harapan. Berharga daripada kita tidak mempunyai sama sekali.

Itulah yang ku pegang sekarang, meski sangat melelahkan karena sering gagal.

Aku sudah memutuskan untuk berperang dengan diriku sendiri, meski sesulit apa pun.

Dan inilah salah satu caraku untuk melawannya. Mencoba menjauh dari hp dan memilih lebih banyak berkumpul dan bermain dengan keluarga. Kebiasaan yang sering ku tingalkan saat aku tengah mengejar mimpi-mimpiku atau targetku dulu.

"Kakak, kemaren teman priaku yang satu kelas denganku menyatakan cintanya pada Sela. Tapi Sela belum memberi dia jawaban. Dia ganteng dan baik loh, Kak," ceritanya. Lalu dia yang sedang nonton tv dengan tubuh telungkup menoleh padaku.

"Menurut Kakak, Sela harus bagaimana?" lanjutnya.

"Ya... jika menurut Kakak, lebih baik berteman aja. Dan Sela fokus ke belajar," saranku agak ragu, entah dia mau menerimanya atau tidak. Secara jaman sekarang sudah banyak remaja kelas satu SMA yang berpacaran.

"Halah, pake so soan minta saran segala lu Sel, palingan nanti juga yang dilakuin sesuai apa yang kamu mau," ejek Ruka yang baru datang bergabung dengan membawa semangkok mie rebus.

Aku tersenyum mendengar ejekan kakak beradik itu.

"Tapi Kakak yakin Sela orang yang bijak. Bisa menentukan mana yang terbaik," sambungku so bijak. Dalam hati aku merasa jijik dengan diriku sendiri.

Ruka duduk dan mulai menyantap mienya sambil melihat ke arah televisi. Sebelumnya dia menawariku tapi aku tidak mau.

"Lagian jangan minta saran Kak Aluna, Kak Aluna sendiri aja belum pernah paca...ran," ledek Ruka sambil menoleh menyeringai dengan tangan membentuk pis ke arahku.

"Ais... kau ini," balasku dengan tatapan mata tajam.

Ruka tersenyum, sepertinya senang melihatku sedikit terpancing.

"Tapi Ruka tahu, itu karena Kak Aluna orang baik. Itu yang menjadi pilihan Kakak. Bukan karena Kakak tidak ada yang suka. Ruka sayang Kak Aluna," lanjutnya terdengar tulus. Dia yang tepat berada di sampingku pun segera memelukku. Menghentikan makan mienya sejenak.

"Iya, Sela juga sayang Kak Aluna." Sela juga ikut-ikutan kakaknya. Senyumnya indah dan terlihat tulus. Aku bersyukur mempunyai mereka dalam hidupku.

Aku tersenyum melihat ke arah mereka bergantian.

"Kakak juga bercanda. Kakak sama sekali tidak marah atau pun tersinggung. Kakak juga menyayangi kalian. Kakak berharap yang terbaik untuk kalian berdua."

Dengan senyum yang mengembang aku mengacak rambut mereka bergantian.

Aku memang memilih tidak berpacaran. Aku memang tidak pernah jalan dengan lelaki mana pun bahkan di usiaku yang sudah dua puluh empat pada tahun ini.

Saat itu pertemuanku di toko buku dengan Hafidz hanyalah kebetulan. Dan aku tidak bisa menolak saat dia mengajakku ke sebuah kafe untuk bicara. Ya, terlepas dari itu, aku belum pernah pergi dengan seorang lelaki.

Satu tahun lalu, ada dua lelaki menyukaiku. Mereka juga warga sini. Tapi yang ku ingat adalah si Anton.

Kenapa aku begitu mengingatnya, karena dia menunjukkan cintanya dengan agresif. Ya, setidaknya itulah yang ku rasakan.

Di waktu musim panen tiba, dia membelikanku makanan ringan dan minuman untukku dan ibu. Dia juga bahkan menawarkan diri untuk mengerjakan pekerjaan ibu dan aku di sawah. Tapi ibu menolaknya dengan tegas. Aku juga menolaknya.

Ah, yang disesalkan pada saat itu, kejadian tersebut bahkan menjadi tontonan orang-orang yang kebetulan ada di sawah itu dan berhasil menjadi bahan gunjingan ibu-ibu seminggu ke depan. Itulah yang selalu ku dengar saat aku belanja di warung-warung.

Ibu-ibu itu akan cepat-cepat diam dan mengunci mulut mereka rapat-rapat saat melihatku mendekat. Tapi sayangnya aku terlebih dulu sudah mendengarnya.

Kenangan yang tidak bisa ku lupakan. Bukan kenangan bahagia, melainkan ketidaknyamanan.

***

Aku membantingkan tubuhku ke atas kasur. Tidur terlentang menatap ke langit-langit kamar. Ku taruh kedua tanganku di atas dadaku.

"Halo, diriku."

"Aluna, yang sekarang mungkin berada di dasar sana. Aku mohon, jangan menyerah! Jangan biarkan dirimu mati ditelan oleh kemalasan. Ayo, berjuang, meski sesulit apa pun. Meski pun kau sekarang lemah berada di dasar sana, tapi selama kau belum mati, jangan berpikir untuk menyerah. Hidupmu sangat berharga jika untuk dilepaskan begitu saja. Ingatlah orang-orang yang kau cintai, jika kau hancur, mereka juga akan hancur. Ini bukan lagi tentang dirimu, tapi tentang semua orang yang kau cintai. Semangatlah dan bangun kekuatanmu." Aku membuka mataku. Menghela nafas pelan.

Aku lalu segera bangun. Duduk bersila di atas kasur. Aku kemudian melihat ke samping kiri kasurku tempat di mana hpku berada.

Aluna, jika kau mengambilnya dan hanya akan bermain media sosial, lebih baik jangan. Jangan kau ambil. Lawan kebiasaan burukmu. Jangan kau biarkan keluar bebas mengambil alih tubuhmu. Batinku dengan pandangan terarah pada hpku.

Kedua tanganku mengepal kuat-kuat di saat batinku sedang berperang hebat. Dan pada akhirnya setelah berkecamuk beberapa lama, aku akhirnya mengambil hpku. Kemudian membuka media sosial.

Aku membanting tubuhku lagi. Mengepakkan kakiku cepat tak beraturan ke atas ke bawah dengan hp yang sedang ku genggam berada di samping kananku. Menampilkan apa yang ku cari.

Aku hanya bisa menghela nafas kasar, merasa sedih dan kecewa karena gagal melawan kemalasanku.

"Aku gagal. Malam ini aku dikalahkan kemalasanku lagi," gumamku lalu mendesah pelan.

Meski sedih dan kecewa aku tidak akan menyerah. Akan terus berusaha melawan kemalasan ini dan melepaskannya dari diri.

Malam itu lagi-lagi aku tenggelam dalam bermain media sosial. Bahkan hingga larut malam.

***

Musim panen sudah memasuki hampir satu bulan. Sore ini adalah sawah terakhir yang ibu ikuti saat menanam. Dan sekarang waktunya memanen.

Tapi karena ibu tidak enak badan, hanya aku sendirian yang akan memanennya.

Ibu sebenarnya menyuruhku untuk melepasnya dan memberikannya pada orang lain bagiannya itu karena ibu tidak mau aku melakukannya sendirian. Tapi aku bersikekeh menolaknya. Aku tidak keberatan melakukannya sendiri. Lagi pula ini yang terakhir, sayang jika harus dilepas untuk orang lain.

Sawah yang akan ku panen ini jaraknya paling jauh di antara semua sawah yang sudah dipanen oleh ibu dan aku, karena itu aku juga berangkat lebih awal. Yaitu pukul satu siang. Kalau biasanya selalu berangkat pukul setengah dua siang.

Matahari yang bersinar terik terasa sangat menyengat. Namun tak begitu terasa karena angin terus berembus menjadi penetralisirnya.

Lihat selengkapnya