Hari demi hari terus berlalu. Aku terus-menerus bermain media sosial.
"Baikalah Aluna, hari ini adalah hari terakhir kau bermain-main dengan media sosial. Besok kau akan mengejar kembali mimpi-mimpimu. Berjanjilah!" ucapku pada diriku sendiri.
Janji yang pada akhirnya selalu ku ingkari sendiri.
Lidah tak bertulang. Lagi dan lagi aku terus mengingkarinya. Keesokan harinya aku terus sibuk dengan kegiatan berulang antara menonton drama dan bermain media sosial.
"Ayolah Aluna kau harus berubah," ujarku gemes pada diriku sendiri di sela istirahatku memainkan media sosial di suatu hari.
Antara malam dan siang terus berganti. Matahari muncul dan tenggelam. Aku tidak bisa menghentikan kebiasaanku ini.
"Ya Allah, yang maha membolak-balikkan hati. Aku mohon palingkan hatiku dari hal-hal yang sia-sia." Aku menghela nafas dalam. Tertunduk lesu saat selesai menonton drama pada suatu hari. Meski menikmati saat menontonnya tapi sebenarnya di dalam hati kecilku, aku sedang berperang hebat dan aku akhirnya kalah dan merasa lelah sendiri.
Hari demi hari, waktu sedikit pun tak pernah berhenti. Waktu berhargaku hilang begitu saja. Aku selalu mengalami kegagalan demi kegagalan setiap harinya saat berusaha melawan rasa malasku. Aku selalu kalah. Dan entah sampai kapan.
Aku sangat frustasi, sulit sekali keluar dari situasi ini.
Kepalaku terasa berputar. Terasa melayang-layang.
Aku merasa mual dan akhirnya benar-benar muntah, berlari dari kamar menuju kamar mandi. Rasa lelah yang benar-benar ku rasakan sudah tak bisa lagi ditahan oleh tubuhku.
Aku terduduk di kamar mandi dengan tubuh yang terasa lemas. Satu tanganku mengelap mulutku.
Beberapa lama aku membiarkan tubuhku terduduk di lantai kamar mandi. Merasakan lelah yang tak tertahankan.
"Tuhan, aku harus bagaimana sekarang?" gumamku dengan lirih. Sangat lirih.
Meski masih terasa lemas, aku mencoba untuk membangunkan tubuhku.
"Aluna, kau tidak boleh menyerah," gumamku lagi lirih saat aku sudah berdiri dengan berpegangan pada dinding kamar mandi.
Tapi nyatanya hari demi hari terus terulang. Aku tidak tahu entah sampai kapan aku seperti ini. Lelah dan lelah itulah yang kurasakan setiap harinya. Membuat hidupku terasa hampa dan kosong.
***
Di malam yang penuh keheningan aku bermunajat pada Allah. Mengangkat kedua tanganku dengan kerendahan hati. Harapan yang menguar memenuhi relung hati.
Aku percaya, hanya Allah yang dapat menolongku.
Ku curahkan segala kegundahanku, keresahanku, masalahku, keburukanku, dan semuanya. Aku memohon petunjuknmu, pertolonganmu. Karena aku tahu bagimu semuanya mudah. Kau berkuasa atas segala sesuatu.
Aku menangis sejadi-jadinya. Membuat air mataku terus mengalir membasahi pipiku. Menangis lama sekali hingga aku bahkan sampai terisak-isak. Menumpahkan segala perasaanku. Memohon dengan setulus hati.
"Ya Allah, tolong hamba. Tolong hamba. Tolong hamba." Hanya kalimat itu yang mampu ku ucapkan terus-menerus sebanyak puluhan kali dengan air mata yang terus menetes mengiringi.
Sejak hatiku dibelenggu oleh rasa malas dan aku selalu kalah atau gagal melawannya membuatku merasa lelah secara emosional hingga pada akhirnya menimbulkan kehampaan di hatiku. Rasanya aku seperti tak memiliki rasa. Terasa amat kosong. Dan karena kehampaan itulah membuatku sangat menyukai hal-hal yang emosional. Seperti film-film dan lagu sedih.
Dengan menonton hal-hal yang emosional hatiku yang terasa hampa seolah terisi oleh sebuah rasa yang membuatku terasa hidup.
Seperti yang sedang ku lakukan sekarang. Air mataku mengalir deras saat aku menonton film yang sad ending. Hatiku terasa terisi penuh. Kehampaan itu hilang, dan aku merasa hidup meski tetap hati kecilku sedang berperang sengit melawan kemalasan. Tidak seharusnya aku menonton film, seharusnya aku menulis atau menghafal. Memperjuangkan mimpi-mimpiku.
Aku yang tiduran mengelap air mataku dengan kedua tanganku.
Aku lalu mendengarkan lagu sedih dari hpku.
"Mendengarkan lagu sedih membuatku merasa hidup. Hatiku yang hampa seolah terisi," gumamku sendiri seraya memejamkan mata.
"Aluna, mau ikut bantu-bantu ke rumah Bu Susi, nggak?" tanya kakakku yang tiba-tiba membuka pintu kamarku dan menyembulkan kepalanya ke dalam.
"Iya Kak, Aluna ikut," jawabku singkat dan jelas. Segera mematikan lagu yang sedang ku dengarkan tadi.
"Cepetan, Kakak tunggu di depan."
"Hm," lanjutku singkat.
Kakak menutup pintu kamarku. Dan aku segera bersiap dengan memakai kerudung dan kaus kakiku, lalu keluar.
Besok adalah hari pernikahannya si Ana. Teman sekolahku waktu SMP. Sudah menjadi kebiasaan di kampungku saat ada tetangga yang mau menggelar syukuran pernikahan pasti tetangga-tetangga pada membantu. Memotong-motong berbagai jenis-jenis sayuran dengan pola dan ukuran yang beragam.
Saat aku dan Kakak sampai di rumah si Ana, ternyata suasana sudah ramai oleh ibu-ibu yang sedang memotong berbagai sayuran dibumbui dengan rumpian yang terlihat mengasyikan.
Cemilan juga sudah disediakan oleh tuan rumah. Aku dan kakakku bergabung di antara keramaian tersebut. Mulai mengupas kentang yang terlihat masih banyak.
Kalau di kampung ada tetangga yang menggelar syukuran pernikahan atau khitanan pasti membuat malamnya jadi ramai dengan suara dangdutan dan pemuda-pemuda yang begadang sampai larut malam. Itu terjadi di malam sebelum pelaksanaan ke esokan harinya.
Jangan ditanya tentang jalan yang ditutup untuk dijadikan pelaminan, di kampungku hal itu seperti sudah menjadi sebuah kewajaran.
Tidak ada warga yang keberatan dan protes. Bahkan dengan suka rela mencari jalan lain untuk lewat kendaraannya saat beraktifitas.
Aku tidak tahu itu sisi positif atau negatif.
Suara cekikikan ibu-ibu yang bergosip terdengar semakin nyaring. Ah, telingaku terasa panas dan tak nyaman. Namun meski begitu aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa diam dan fokus saja pada apa yang sedang ku kerjakan. Mengupas kentang yang sekarang hampir selesai.
Keesokan harinya aku juga membantu dengan menjadi pagar ayu penjaga prasmanan. Berdiri tepat di depan makanan dengan beberapa orang lainnya. Kami semua yang menjadi pagar ayu didandani.
Suara riuh terdengar saat mempelai lelaki sampai. Petasan menyambut dengan bunyinya yang bising dan di akhiri dengan dentuman keras.
Suasana menjadi hidmat dan tenang saat ijab dan qabul mulai dilaksanakan dan riuh kembali saat mempelai lelaki menyelesaikan qabulnya. Seketika para hadirin berteriak sah saat penghulu dan saksi-saksi mengesahkan.
Acara pun berlangsung dari pagi sampai malam hari.
***