Me Vs Me

ani__sie
Chapter #14

14. Menyendiri

Suasana hatiku sedang benar-benar tidak baik. Aku memutuskan untuk tidak berjualan hari ini.

Ah, hatiku sungguh terasa hampa dan kosong. Hari ini aku sungguh tidak punya semangat.

"Lun, kakakmu manggil tuh. Katanya ayo sarapan di luar," panggil Ibu dari balik pintu kamarku dengan menyembulkan sedikit kepalanya ke dalam.

"Nggak, Bu, Aluna belum lapar," jawabku.

Aku sungguh tak berselera. Aku merasa tidak ingin melakukan apa pun.

Di saat seperti ini hanya satu yang ingin ku lakukan. Menyendiri tanpa diganggu oleh siapa pun. Dan aku memutuskan untuk melakukannya.

Aku memutuskan untuk pergi ke toko buku. Akan membeli satu buku walau entah kapan aku akan membacanya. Karena sudah ku bilang aku tengah dibelenggu oleh kemalasan. Sulit bagiku untuk membaca buku juga.

Pergi ke toko buku hanyalah alasan untuk aku pergi dari rumah. Menyendiri, merenung tanpa khawatir ada keluargaku yang tahu. Karena jika melihatku melamun dengan wajah sendu pasti mereka akan bertanya dan aku tidak akan bisa menjawabnya. Lebih tepatnya tidak nyaman menceritakannya.

Sesampainya di toko buku aku berputar-putar mengelilingi rak demi rak. Bukan untuk mencari buku tapi hanya ingin berputar-putar saja karena hatiku yang tak menentu, hampa dan kosong.

Pada akhirnya rasa lelahku yang sudah tak tertahankan karena selalu gagal melawan kemalasan yang ada pada diriku membuat hatiku seolah kebas, tak bisa merasakan apa pun.

Setelah lama aku berputar-putar, aku sembarang menyambar buku dari rak yang aku sendiri tidak tahu apa judulnya mau pun buku tentang apa. Sudah ku bilang aku hanya menyambarnya asal. Katakan saja ini sebagai tiket masukku ke dalam toko buku.

Aku benar-benar merasa hampa. Hampa sekali. Aku sungguh seperti mati rasa.

Setelah lama di toko buku, aku pun keluar. Namun dibandingkan pulang aku lebih memilih berdiam diri di taman kota. Duduk termenung di kursi panjang taman. Termenung tak peduli apa pun.

Pemandangan taman kota sangat indah. Dengan bunga tabebuya berwarna kuning berjejer rapi. Mengisi rasa di hatiku.

Semilir angin terus berembus. Menggoyangkan bunga-bunga dan dedaunan. Menambah berkali-kali lipat keindahan taman. Juga mengisi rasa di hatiku berkali-kali lipat juga. Kehampaan di hatiku berangsur terisi meski belum terasa penuh.

Aku memejamkan mataku membiarkan angin menyentuh wajahku. Lama sekali aku memejamkan mata. Menenangkan, dan itu terasa sampai di hatiku.

Aku tidak ingin pulang. Aku ingin terus di sini. Batinku.

Ya Allah, aku sungguh sedang berada dalam kesedihan yang dalam.

Saat ini hidupku sungguh menyedihkan.

Tidak ada lagi kebaikan dalam hidupku. Semuanya sekarang menghilang dari hidupku. Keseharianku.

Kebiasaanku menulis, kebiasaanku membaca, kebiasaanku menghafal Al-qur'an dan kebiasaanku solat duha.

Semuanya menghilang dari keseharianku.

Sekarang aku sungguh berada di titik terendahku hingga membuatku frustasi.

Batinku terdiam sejenak. Embusan angin terasa semakin kencang menerpa wajahku. Aku juga yakin bunga-bunga dan dedaunan semakin menari lebih cepat. Hatiku terasa semakin terisi.

Tuhan, jangan tinggalkan hatiku seperti ini.

Tuhan, aku tidak ingin menjadi pecundang dalam kehidupan ini.

Dalam kehidupan dunia yang sebentar ini, aku ingin menjalani hari-hari dengan baik dan tanpa penyesalan.

Aku ingin hidupku berakhir bahagia. Di dunia dan juga di surgamu. Bersama keluargaku.

Aku mohon, Tuhan.

Dan tanpa ku sadari, ternyata ada seseorang yang sudah lama memperhatikanku. Lalu mendekatiku dan berdiri tepat di depanku.

Aku yang terpejam tetkejut saat ku rasakan sebuah tangan memasangkan sebuah topi ke kepalaku. Aku seketika membuka mataku.

Pandangan kami beberapa saat bertemu. Lalu aku yang merasa canggung segera mengalihkan pandanganku ke bawah. Dia masih menatapku.

"Ini sebuah kebetulan atau sebuah takdir? Kita tidak sengaja selalu bertemu. Entah di mana pun itu. Jika seperti itu, bolehkah aku memiliki harapan sekarang?"

Kalimatnya sungguh membuatku membeku. Tidak terduga hingga aku bingung harus berkata apa.

Dia terus berdiri. Mungkin menunggu jawabanku. Tapi tidak ada kalimat yang terpikirkan olehku meski sudah beberapa lama.

Aku tetap terdiam menunduk. Dan tidak berapa lama dia juga ikut duduk di sampingku.

Aku masih tetap diam. Membuat suasana menjadi canggung.

"Apa kau tidak kepanasan?" tanyanya memecah keheningan.

Aku memang duduk di kursi taman pukul tiga sore saat matahari masih bersinar terik. Namun menurutku tidak seterik itu karena angin pun berembus kencang dan menetralisirkan rasa panasnya.

"Angin menetralisirnya," jawabku masih menunduk.

Aku tidak tahu kenapa aku selalu bertemu dengannya. Benarkah apa yang dia bilang. Sebuah takdir? Ah, entahlah.

"Sebenarnya kau mau ke mana?"

"Aku dari toko buku dan ingin bersantai sejenak di taman ini. Menikmati tabebuya yang indah ini," terangku.

Meski aku juga ingin bertanya dari mana atau mau kemana dia, tapi aku pikir itu bukanlah hal yang penting. Aku mengurungkan niatku. Menahan diri.

Lihat selengkapnya