Me Vs Me

ani__sie
Chapter #19

19. Sakit yang terasa manis

Bumi bagai berhenti berputar. Setidaknya bagiku. Saat dokter memvonisku tentang penyakit yang ku derita.

"Ada tumor yang bersarang di kanan kepala Ibu,"

"Karena ukurannya yang sudah cukup besar, tumor itu membuat tekanan yang mempengaruhi sel otak. Kondisi ini cukup serius. Dan oprasi akan sulit karena posisinya," jelas dokter terdengar berat hati namun tetap tegas.

"Tapi Dok, seberapa besar kemungkinan operasinya akan berhasil?" tanya kakakku berusaha tenang.

Aku yang duduk di sampingnya hanya diam tak mampu berkata-kata. Masih terkejut.

"Ada kemungkinan tujuh puluh persen tidak akan berhasil," terang dokter itu terlihat menyesal

"Namun hanya itu satu-satunya jalan keluar," lanjut dokter itu membuat kakakku menghela nafas dalam. Sulit menerimanya.

Sedangkan aku merasa seolah aku berjalan di atas kaca tipis yang mudah retak.

"Tapi, apa yang akan terjadi jika dia tidak dioperasi Dok?" lanjut kakakku bertanya dengan denting di matanya yang ikut jatuh.

"Hidupnya tidak akan lama lagi."

Mendengar pernyataan itu hatiku membeku. Tak mempunyai rasa lagi.

***

Setelah kepulanganku dan kakakku menjelaskan tentang keadaanku pada ibu, seketika ibu tidak bisa menahan tangis di matanya. Dia langsung mendekapku sangat erat. Tangis ibu semakin keras dan terdengar menyedihkan

"Anak yang malang. Anak yang malang," gumam ibu lirih di tengah tangisnya sambil terus mengusap kepalaku.

Semua yang ada di sana pada akhirnya ikut menangis. Kakakku dan juga kedua keponakanku. Dan meski aku tidak menangis, namun air mataku terus luruh tanpa henti saat tubuhku masih didekap Ibu dengan sangat erat.

Setelah hari itu, hari-hari keluargaku selalu dihiasi dengan air mata.

Seperti yang dikatakan dokter yang menyuruhku untuk segera melakukan operasi, kakakku dan juga ibuku menyuruhku untuk melakukan hal yang sama.

Meski dihantui ketakutan ketidakberhasilan yang cukup tinggi, namun keduanya memilih mengambil kesempatan tiga puluh persen itu. Ibu dan kakakku bilang setidaknya kita tidak boleh menyerah.

Pemikiran yang seratus delapan puluh derajat berbeda denganku.

Aku mengerti dengan sudut pandang mereka.

Tapi mengertikah mereka dari sudut pandangku?

Aku bukan takut akan kematian itu. Namun jika menjalani operasi dan akhirnya gagal, kehidupanku selesai. Semuanya selesai bagiku.

Mimpi-mimpiku akan berakhir, dan aku akan pergi sebagai seorang pecundang. Akhir yang sangat menyedihkan bagiku.

Membayangkan itu aku menangis tergugu di balik pintu kamar dengan membekap mulutku dengan kedua tanganku.

Tuhan, beri aku waktu. Setidaknya untuk mewujudkan satu impianku. Menjadi seorang Hafidzah.

Aku mohon Tuhan, setidaknya jangan ambil nyawaku sebelum itu. Aku janji akan menghafal dengan rajin mulai sekarang.

Bersamaan dengan batinku yang terus bergumam, air mataku luruh tak terbendung.

Aku terus menangis di tengah heningnya malam. Rasanya hidupku akan benar-benar berakhir.

Jika hidupku benar-benar berakhir sekarang, aku akan benar-benar mati sebagai pecundang. Batinku yang membuat tangisku semakin keras namun segera ku bekap dengan kedua tanganku.

***

Setelah malam itu aku berjanji tidak akan menangis lagi. Aku juga menyuruh keluargaku untuk melakukan hal yang sama.

Aku tidak tahu apakah itu egois atau tidak, tapi menurutku bagaimana pun kehidupan harus terus berlanjut.

Aku berharap itu akan menjadi motivasi yang akan menguatkan mereka.

"Aluna, Ibu mohon, jalanilah operasi," bujuk ibu suatu hari.

"Iya Lun, Ibu benar," kakakku ikut menimpali.

"Apa kau tidak kasihan pada ibumu ini?" lanjut kakakku dan aku masih diam mendengarkan semua perkataan mereka.

"Aluna menyayangi Ibu melebihi menyayangi Aluna sendiri. Aluna juga sangat menyayangi Kakak. Jadi berhentilah bersikap seperti ini." Aku menyeka air mataku yang menitik dengan punggung tanganku. Tangisan yang akan menjadi tangisan terakhirku.

"Nanti, Aluna akan melakukan operasinya nanti."

"Tapi kapan sayang, itu hanya akan memperburuk saja," jawab ibu sambil menggenggam erat tanganku. Kakakku terdiam di samping ibu.

"Setelah Aluna meraih mimpi yang Aluna targetkan."

"Mimpi?" Kakakku tampak sedikit terkejut.

Ya, pada akhirnya untuk pertama kalinya aku mengungkapkan impianku pada keluargaku.

"Aluna bahkan belum bisa memberi apa pun pada ibu atau Kakak." Aku menatap ibu lalu menatap kakakku.

"Jika Aluna menjalani operasi namun berakhir gagal, itu akan menjalani penyesalan bagi Aluna."

Lihat selengkapnya