Me Vs Me

ani__sie
Chapter #21

21. Keajaiban pertama

Tiga bulan berlalu sejak vonisku waktu itu. Aku merasa waktu berjalan sangat cepat.

Tapi yang ku syukuri adalah, aku seperti diberi keajaiban yang membuatku tergugu.

Aku tidak mengingkari janji, kataku, aku boleh menangis jika itu tangis bahagia.

Di malam hari yang sunyi dan tenang ini aku tergugu di atas sajadahku. Lama sekali.

Aku bersyukur, bahagia sekaligus terharu karena aku merasa Allah memberiku keajaiban yang sangat indah. Melebihi apa pun. Berharga lebih dari apa pun.

Lihatlah, bahkan sekarang aku tidak bisa menahan air mataku yang terus mengalir. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir akan bisa sejauh ini meski aku tidak akan pernah menyerah meraih impianku.

Tapi, dua puluh tujuh juz dalam waktu tiga bulan membuatku takjub. Ya, ini bukan karena aku sendiri, melainkan semata-mata karena keajaiban Allah. Dia yang memudahkanku, Dia yang menguatkanku. Ya Allah, aku sangat berayukur.

"Aluna, sudah dua puluh tujuh. Hanya tinggal tiga juz lagi Aluna," gumamku pada diri sendiri dengan air mata yang terus mengalir. Aku lalu tersungkur, menangis sejadi-jadinya di atas sajadah karena rasa syukur dan bahagiaku.

Itu benar-benar keajaiban bagiku.

Kemudahan yang sebenarnya tidak pernah ku pikirkan sedikit pun sebelumnya. Aku seperti berjalan di jalur bunga. Indah sekali.

"Terima kasih ya Allah. Terima kasih ya Allah," ucapku lirih terus ku ulang sambil mendongak ke atas.

Tanpa ku sadari waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi.

Azan subuh berkumandang. Aku segera menghentikan tangisku. Mengusap basah di wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku lalu mendirikan solat fajar sebelum kemudian mendirikan solat subuh. Selesai solat aku beristigfar beberapa lama.

Setelah selesai beristigfar aku berdiri dan melepas mukena. Namun baru saja aku hendak melipatnya aku merasakan kepalaku terasa sakit. Sakit sekali. Aku kemudian terjatuh tak sadarkan diri.

***

Saat aku terbangun aku ternyata sudah berada di rumah sakit. Ibu dan kakakku berada di sana, tepat di samping tempat tidurku di sisi kiri dan kanannya.

Dan untuk beberapa hari ke depan aku dirawat di rumah sakit. Dokter masih sama, terus menyuruhku untuk segera melakukan operasi. Membuat Ibu dan kakakku yang selama ini sudah berdamai dan menerima keputusanku akhirnya tanpa lelah membujukku lagi. Dan jawabanku masih sama. Tidak berubah.

"Nanti, Aluna belum menyelesaikan hafalanku."

Meski Ibu dan kakakku terus membujukku jawabanku selalu sama.

Setelah beberapa hari di rumah sakit, aku akhirnya pulang ke rumah. Dan itu melegakan. Kedua keponakanku berlari seperti anak kecil, segera memelukku sesampainya aku di rumah. Namun meski begitu aku tetap menyukai cara mereka menyambutku.

Aku menghela nafas lega setelah berada di dalam kamarku. Merasa nyaman berada di kamar sendiri setelah beberapa hari di rumah sakit.

Sesampainya di rumah, aku kembali pada rutinitas menghafalku. Aku takut tidak punya cukup waktu untuk menyelesaikannya, aku tidak boleh menunda-nundanya.

Aku seperti sedang berkejaran dengan waktu. Tapi jika mengingatnya itu menjadi lucu, karena dikejar aku jadi berlari. Berlari secepat mungkin.

Secepat yang ku bisa. Dan untuk menguji hafalanku, adakalanya aku meminta tolong Sela.

Aku terus melantunkan ayat demi ayat, setelah selesai satu surat aku terus berganti ke surat lainnya. Aku berusaha tenang dan fokus sekaligus menghayati. Dan setelah beberapa lama murojaahku akhirnya selesai.

Sela menutup Al-qur'annya. Tersenyum lebar ke arahku.

"Kak Aluna sangat hebat. Sela ingin menjadi seperti Kak Aluna." Dia tersenyum terdengar sangat tulus.

"Tahukah Kakak, setiap kali Sela melihat Kakak, hati Sela selalu tergugah, dan rasa ingin menjadi lebih baik itu muncul spontan dalam hati Sela," lanjutnya.

Dia menyentuh tanganku. Menggenggamnya erat.

"Jadi Sela mohon, sama seperti Kakak yang tidak menyerah untuk impian Kakak, Kakak juga tidak boleh menyerah pada hidup Kakak." Ku lihat air mata mulai menitik dari kedua matanya.

"Kakak harus panjang umur agar tetap menjadi semangat bagi Sela untuk menjadi orang baik."

Dia lalu memelukku seperti anak ayam yang sangat merindukan induknya. Ya, seperti itulah yang ku rasakan. Aku balas memeluknya. Kata-katanya sungguh menyentuhku.

Untuk pertama kalinya ada seseorang yang ingin menjadi seperti aku? Jujur aku senang mendengarnya. Juga senang karena dia menjadikanku motivasi dalam hidupnya.

Aluna, bukankah kau harus semangat? Tidak menyerah pada penyakitmu? Cepat selesaikan hafalanmu dan jalani operasi dan sembuh. Jangan lupakan tiga puluh persen kemungkinan berhasil itu. Bahkan jika satu persen pun, kau tidak boleh menyerah.

Aku semakin mengeratkan dekapanku. Mengusap punggungnya beberapa kali.

"Kakak yakin kamu akan bisa menjadi orang yang jauh lebih baik dari Kakak. Kakak juga tidak akan menyerah pada hidup Kakak."

Dia bergeliat, melepaskan pelukannya.

"Sela senang mendengarnya," ujarnya dengan senyum yang sampai dari matanya.

"Tapi Kakak, Sela pernah membaca, bahwa mendengarkan lantunan Al-qur'an dapat menyembuhkan kembali sel yang telah rusak." Dia diam sejenak.

"Sela berharap, tumor itu perlahan akan hancur seiring dengan Kakak yang terus menghafal Al-qur'an," lanjut Sela dengan semangat.

"Aamiin. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah menghendaki," balasku tak kalah optimisnya dalam merespon ucapannya.

"Tapi Kakak juga harus janji, ya, jika nanti Sela masuk list orang yang masuk neraka, dari sepuluh orang yang Kakak bisa selamatkan, Sela harus menjadi salah satunya. Janji?"

Aku tersenyum. Dia lucu sekali bahkan sampai megacungkan jari kelingkingnya tepat di hadapanku.

"Baiklah, Kakak janji." Aku menautkan jari kelingkingku ke jari kelingkingnya. Aku tersenyum tulus.

"Sekarang Sela lega. Seperti Sela sudah punya jaminan." Dia tersenyum lalu memelukku lagi.

Sangat lucu. Dia menggemaskan. Dan sungguh, aku juga berharap kelak aku bisa membantu keluargaku di akhirat kelak.

Aku tersenyum lalu memejamkan mata. Memeluk Sela semakin erat.

***

Aku tidak pernah tahu kehidupanku akan berjalan berliku dengan alur seperti ini.

Meski aku menyadari bahwa nanti akan ada kesulitan saat meraih mimpi-mimpiku, tapi aku tidak pernah berpikir ujian dalam impianku itu adalah diriku sendiri. Aku harus berperang dengan diri sendiri bukan dunia luar.

Dan kejutannya sekarang pahlawan yang melawan dan bisa mengalahkan sisi buruku adalah sakit yang ada di tubuhku. Karena itu sakit memberiku dua sisi, kebahagian dan juga kesedihan.

Lailahaillaah... Lailahaillah...

Aku melihat beberapa orang bapak-bapak menggotong keranda mayat terus berjalan melewati rumahku. Di belakangnya anggota keluarga berjalan mengikuti. Di sana aku melihat seorang Ibu paruh baya terus menangis hingga air matanya terus mengalir meski ku lihat dia berusaha menahannya karena sedang berada di keramaian.

Melihat sekilas saja aku tahu pasti rasa sakit kehilangannya sangat dalam. Matanya sayu tak memiliki cahaya sedikit pun. Redup, seredup-redupnya. Ibu itu bahkan seakan tidak bisa berjalan jika tidak dipapah oleh anggota keluarganya yang lain. Tubuhnya mungkin tidak mampu berdiri tegak di tengah rasa sedih kehilangan yang dia rasakan. Membuatku yang melihatnya merasa iba hingga menimbulkan rasa sesak di dada.

Aku menghela nafas panjang saat berusaha untuk menghilangkan rasa tersebut.

Lihat selengkapnya