Aku menghela nafas pelan. Menenangkan hatiku. Menguatkan mentalku.
Hari ini aku dan kakakku akan pergi ke rumah sakit. Memeriksakan diri untuk melihat bagaimana perkembangan penyakitku.
Setelah beberapa lama mengantri akhirnya giliranku untuk masuk bertemu dengan dokternya.
Saat akan masuk ke dalam ruangan, kakakku menggenggam tanganku, melihat ke arahku, tersenyum. Menguatkan.
"Percayalah, semuanya pasti akan berjalan dengan baik." Aku hanya dapat tersenyum dan mengangguk menanggapinya. Sebenarnya hatiku sangat tegang.
Aku kemudian melalukan berbagai rangkaian tes untuk mengobservasi analisa tumorku.
Setelah semua rangkaian tes selesai, aku dan kakakku duduk di kursi untuk menunggu keterangan dari dokter. Lagi-lagi kakakku menggenggam tanganku.
Dan meski merasa tegang aku juga sudah mempersiapkan mentalku untuk mendengar kemungkinan terburuk tentang keadaan penyakitku.
Aku menghela nafas sangat pelan agar kakakku tidak mendengarnya.
Saat dokter memasuki ruangan dan duduk di kursinya tepat di hadapan aku dan kakakku, aku sudah bersiap untuk menerima musibah itu. Kabar bahwa penyakitku mungkin sudah semakin parah.
Di depan, aku melihat ekspresi dokter yang tampak tercengang. Membuka kaca matanya sejenak lalu memakainya lagi dan begitu fokus melihat layar yang hanya dia yang melihatnya.
Saat menunggu dokter memberitahukan hasilnya, menit berlalu bagaikan tahun. Aku sudah merasa benar-benar down.
Tubuhku mulai terasa lemas saat dokter mulai duduk menghadapku dan terlihat siap-siap untuk memberitahukan hasilnya.
Apa pun hasilnya, kau harus kuat Aluna. Batinku berusaha menguatkan diri sendiri.
Namun kemudian aku ditimpa shock yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
"Selama menangani banyak pasien, saya belum pernah mengalami hal seperti ini. Subhanallah itulah keajaiban. Bisa terjadi kapan saja." Dokter berhenti sejenak. Menghela nafas pelan.
Aku semakin tegang, bingung sekaligus tidak mengerti.
"Subhanallah, setelah melihat keseluruhan dari hasil pemeriksaan, di sana menunjukkan bahwa semuanya terlihat normal. Ibu sudah sembuh dengan sempurna," terang dokter yang terlihat masih tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Kakakku terkejut hingga beberapa saat hanya bisa mematung. Aku pun melakukan hal yang sama.
Setelah mematung beberapa lama, tanpa disadari air di mataku luruh tanpa henti.
Aku menoleh ke arah kakakku yang juga kebetulan sedang menoleh ke arahku. Menatapnya beberapa saat dengan bibirku yang sudah mulai bergetar.
Dan tanpa menunggu lama aku pun langsung mendekapnya erat. Tergugu dalam pelukannya. Kakakku juga ikut menangis, tapi tidak sekeras aku. Dia terus mengusap-usap punggungku sampai aku berhenti menangis.
Allahu akbar.... Allahu akbar...
Dia maha segalanya. Keajaibannya sangat indah. Keajaibannya benar-benar datang di waktu yang tepat.
Ya Allah, terima kasih. Terima kasih. Batinku saat berada di pelukan kakakku.
Perasaanku sungguh tak terlukiskan. Aku bahagia di atas bahagia. Benar-benar sulit menggambarkannya.
Sesampainya di rumah, ibu dan kedua keponakanku yang menunggu kabar dengan gelisah, seketika langsung mendekapku sangat erat saat kakakku menjelaskan hasilnya.
Ibu menangis keras sekali, membuatku juga akhirnya ikut menangis lagi. Tangisku di rumah sakit ternyata belum juga cukup.
Ibu dan kedua keponakanku masih memelukku dengan sangat erat. Ketiganya juga masih belum menghentikan tangisnya. Termasuk aku juga.
Tangisan bahagia itu menggema ke seluruh sudut ruangan. Lama sekali.
***
Di malam hari dia langsung menghubungiku.
"Setelah mengetahui kabar itu dari Sela, aku langsung bersujud menghentikan menulisku. Air mataku juga langsung keluar begitu saja. Selamat atas kesembuhanmu," ujarnya terdengar sangat antusias. Jelas sekali kalau dia bahagia.
"Terima kasih karena telah menyemangatiku waktu itu. Itu membuatku lebih kuat," balasku dengan tulus.
"Tidak perlu berterima kasih. Itu bukanlah hal yang berarti."
"Tapi itu berarti bagiku," lanjutku cepat menyangkal ucapannya.
"Benarkah? Kalau begitu aku bahagia," jawabnya terdengar senang.
"Cih..." Aku berdecih. Lucu melihat kelakuannya meski hanya mendengar dari kata-katanya. Katanya itu bukan apa-apa, tapi dia terdengar sangat bahagia saat aku mengatakan bahwa itu sangat berarti. Dia benar-benar lucu. Tanpa sadar aku tersenyum.
"Aku juga dengar dari Sela, kalau katanya kau juga bisa menyelesaikan hafalanmu hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Bagiku itu sangat menakjubkan.
"Kakak terlalu berlebihan. Aku memang mensyukurinya, tapi ada yang lebih baik dari aku di luar sana."
"Setidaknya bagiku."
Deg, sejenak aku terdiam. Itu menyentuh hatiku. Kalimatnya sungguh membuatku tidak bisa berkata-kata.
"Ku dengar itu salah satu mimpi terbesarmu,"
Aku masih diam. Jantungku berdebar sangat cepat.
"Hallo... Aluna?"
"Oh, ii...iya," jawabku yang terlebih dulu terkejut karena panggilannya menyadarkan aku yang semula sedang melamun.
"Kakak berkata apa tadi?" lanjutku bertanya lagi karena lupa apa yang dia katakan karena tadi aku melamun.
"Kau melamun?" tanyanya.
"Tt...tidak, aku hanya lupa saja," jawabku gagap mulai gelisah.
Ku dengar dari sebrang sana dia tertawa kecil.
Aku yang berada di sini merasa malu sendiri. Memilin bibir dan memejamkan mataku.
"Ku dengar, itu salah satu mimpi terbesarmu," ujarnya setelah berhenti dari tawanya. Mengulang kalimatnya.
"Benar, itu adalah mimpi terbesarku," balasku setelah mengendalikan diri dari rasa maluku.
"Lalu, apakah selain itu, kamu mempunyai mimpi lain yang sedang kau kejar dan ingin kau wujudkan?" lanjutnya bertanya.
Aku diam sesaat. Menimbang-nimbang, apakah akan mengatakannya padanya atau tidak.
"Jika kau tidak ingin memberitahuku juga tidak apa-apa," jawabnya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
"Memang benar, aku mempunyai satu lagi impian yang ingin aku raih. Impian seperti Kakak," jawabku pada akhirnya dan entah kenapa rasanya malu sekali. Mungkin karena aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku pada orang lain.
"Penulis?" Dia bertanya memastikan.
"Hm," jawabku singkat.
"Hanya Kakak yang mengetahuinya. Bahkan keluargaku sendiri saja tidak tahu tentang impianku itu," lanjutku menjelaskan.
"Benarkah? Kalau begitu berarti aku memang spesial."
Entah kenapa saat dia mengatakan hal itu, aku kehabisan kata-kata untuk menjawabnya. Aku terdiam beberapa detik.
"Ah, aku hanya bercanda," lanjutnya kemudian memecah keheningan.
"Tapi kenapa merahasiakannya dari keluargamu? Bukankah lebih baik mereka tahu hingga mereka dapat mendukungmu?" lanjutnya bertanya.
"Aku bukan tipe orang yang bisa mengungkapkan perasaanku. Aku lebih nyaman menyimpannya sendiri. Membicarakan impianku pada keluargaku entah kenapa aku merasa tidak nyaman. Aku lebih nyaman merahasiakannya dan berjalan tanpa mereka tahu."