Mereka tiba di rumah Bacchan dengan keadaan yang keduanya masih gugup. Erwin tidak berbicara apapun lagi setelah meminta Karin menjadi istrinya dan Karin masih belum bisa memberi jawaban. Selama satu jam di perjalanan mereka diam. Tidak mengatakan apapun. Satu katapun. Erwin pun dengan bodohnya tidak menyalakan musik untuk mencairkan suasana, setidaknya agar mereka tidak saling mendengar detak jantung mereka yang berdebar-debar.
Karin tidak membuka pintu mobilnya setelah Erwin sudah sampai di depan pintu rumah Bacchan. Di dalam mobil Karin sibuk merapikan diri dan mengatur napasnya, Ia juga memakai riasan yang cukup agar terlihat "segar" ketika akan bertemu seseorang nanti. Erwin kembali dan memperhatikan Karin yang sedang bersiap-siap, tersenyum menyungging. Lalu Ia mengetuk jendela. Di dalam sana Karin nampak terkejut, segera membuka pintu mobilnya.
"Kenapa lama sekali? Saya menunggunya disini." Erwin mempersilakan Karin untuk berjalan terlebih dulu.
"Saya harus berdandan dan merapikan diri. Tidak ingin terlihat berantakan."
"Memangnya ingin dilihat rapi oleh siapa?" Erwin sedikit menggodanya.
"Seseorang yang ada di rumah ini." Karin masih menjawab dengan nada datar.
"Ada tiga orang di rumah ini." Kemudian Erwin membuka pintunya.
Satu sampai tiga detik setelah pintu itu terbuka, seorang anak laki-laki yang tangannya penuh dengan lego berlari menghampiri Erwin, "Papa!" Dia kegirangan dan menjatuhkan semua legonya, begitu Erwin memeluknya, lalu menggendongnya. Kakaknya menyusul seorang anak perempuan yang sedang dikuncir kepang, berteriak, "Papa aku juga ingin digendong." Dan Erwin menggendong keduanya.
Karin melihatnya kagum dan ingin mencoba menyapa kepada Sea dan Jea, kedua anak Erwin yang kembar. Namun, mereka tak melihat kearah Karin sama sekali. Mereka sibuk menyambut mesra kepulangan papanya. Akhirnya Ia hanya mematung di belakang Erwin sambil tersenyum kikuk.
Tetapi Erwin melangkah lebih jauh lagi, Ia masuk ke ruang tengah dan mencari Bacchan tanpa mempersilakan Karin untuk duduk. Karin kebingungan saat Erwin mulai melangkah masuk, apakah ia harus tetap disini atau mengikutinya. Lalu Ia berdeham, memberi isyarat kepada Erwin, jika Ia ada disini dan harus bagaimana.
"Tunggu sebentar. Aku sedang mencari Ibuku." Erwin paham dengan isyaratnya, tanpa menoleh kearahnya Ia memberitahu Karin untuk menunggu. Dan Karin menunggunya, berdiri di depan lemari yang penuh dengan mainan anak-anak. "Sungguh Ayah yang mengaggumkan, memberikan anak-anaknya mainan sampai lemari ini penuh." Karin bergumam, memandang takjub ke lemari yang berukuran panjang 6 meter dan lebbar 4 meter itu penuh dengan mainan.
Sepuluh menit berlalu, Erwin belum juga kembali. Rasanya Ia seperti sedang mengabaikan Karin yang sudah jauh-jauh diajak kemari. Apalagi tanpa Erwin tahu, sebenarnya hari ini Karin juga harus menemui seseorang untuk masalah pekerjaan selanjutnya. Karin mulai gelisah dan merasa tidak nyaman, karena Ia harus menunggu dalam waktu yang cukup lama. Beberapa kali ia juga menerima telepon dari rekan kerjanya untuk cepat menemuinya. Tapi, Karin tidak bisa pergi begitu saja dari rumah ini. Itu sangat tidak sopan, mesikupun mereka baru pertama kali bertemu.
Dua puluh menit berlalu, Erwin masih belum kembali menghampirinya. Karin sudah mondar-mandir diruang tamu yang cukup luas itu puluhan kali dan kini Ia harus menambahnya. Telepon masuk terus berdering ke ponsel miliknya, tidak ada alasan lagi yang harus Ia katakan kepada rekan kerjanya, setelah Ia mengatakan bahwa Ia sedang berada diperjalanan dan segera sampai kesana untuk menemuinya. Karin mematikan ponselnya agar rekan kerjanya tidak menghubunginya lagi. Dan mempercepat langkah kakinya, dentuman langkah kakinyapun semakin keras, Iapun mencoba bertepuk tangan dan berdecak sekeras mungkin dengan harapan Erwin segera kembali.