Kerusuhan dipagi hari adalah sebuah rutinitas bagi Erwin dan anak-anaknya. Meskipun sudah 4 tahun menjadi orangtua tunggal, dia masih belum bisa terbiasa. Erwin masih sering bangun kesiangan, dan dia sering lupa anaknya harus mulai pergi sekolah. Di hari pertama anaknya masuk sekolah TK, Erwin harus mengambil cuti kerja. Dia mempersiapkan air panas untuk memandikan anak-anaknya, menyiapkan baju seragam, sepatu dan makanan untuk bekal seorang diri. Setelah semua siap, ia mulai membangunkan mereka.
Karakter seorang anak tidak akan jauh dari orangtuanya. Sudah diberi cipratan air pun, mereka tak kunjung bangun. Diberi suara pengeras pun tak bangun juga. Erwin kehabisan cara, akhirnya menggendong mereka ke kamar mandi. Dalam keadaan mata yang masih terpejam, Erwin membukakan baju-baju mereka, lalu memasukannya ke dalam bak mandi. Mereka mengerjap, terbangun kemudian tertawa bersama.
Erwin tidak bisa memasak sama sekali, bahkan masak mie sekalipun. Untungnya rumah Ibunya Erwin, Baachan tidak jauh dari rumahnya. Setiap pagi dan malam Baachan selalu membawakan masakannya ke rumah Erwin. Sea dan Jea juga lebih sering diantar jemput Baachan, karena Erwin kadang-kadang ketiduran di kantor atau ada kunjungan kerja ke luar kota.
Hari Sabtu dan Minggu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu Sea dan Jea. Apalagi kalau bukan hari liburnya mereka dan Erwin. Mereka bisa pergi rekreasi bersama. Namun, itu semua hanyalah angan-angan mereka bertiga. Saat Erwin benar-benar memiliki waktu luang, ingin mengajak Sea dan Jea pergi, Baachan sudah lebih dulu mengajak mereka pergi berkebun. Atau sebaliknya, Sea dan Jea merengek minta main, Erwin sibuk bekerja dengan pekerjaan yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan.
"Pa, Jadi kita kapan berangkat?" Suara Sea memelas disebrang telepon, ia sangat mengharapkan untuk bermain di taman rekreasi minggu ini.
"Iya gimana nanti aja, ya. Papa masih banyak kerjaan. Pokoknya, Jangan dulu tidur, ya." Erwin segera menutup teleponnya, sibuk dengan pekerjaannya.
"Kebiasaan Papa!" Sea membanting hpnya, membenamkan wajahnya ditumpukkan bantal. Melihat Sea yang seperti itu, Jea menghampirinya sembari membawa coklat dan menyentuh punggung Sea, menawarkan sebatang coklat. Sea menatapnya dengan air mata yang berlinang karena rasa kesal tadi pada Erwin, Jea yang tidak tahu apa-apa keheranan dan dia malah lebih dulu menangis kencang.
Baachan yang sedang menyiapkan makan malam, langsung terbirit-birit menghampiri cucunya, "Ogu, ogu kenapa cucu manisku menangis?"
Tangis Jea tak bisa dihentikan, kini Sea yang keheranan dengan tingkah saudara kembarnya itu. Beberapa kali ia mengusap punggung Jea dan ia masih tetap menangis. Baachan memeluk kedua cucunya, menanyakan apa yang telah terjadi kepada Sea.
"Jea aneh." Tuduh Sea sambil bingung, "Aku tidak melakukan apapun. Tiba-tiba dia menangis kencang."
"Sea, maafkan aku, padahal aku hanya ingin memberimu coklat." Kata Jea masih menangis, "Aku tahu kamu sangat suka makan coklat. Kenapa hari ini kamu menangis melihat coklat?" Tangisnya semakin keras.
Sea menepuk dahinya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal,"Aku bukan menangis karena melihat coklat! Aku cuma lagi kesal."
"Kau kesal karena aku?" Tangis Jea semakin keras lagi, pipinya sudah benar-benar basah. Air matanya juga sudah menempel ke baju Baachan.
"Tidak! Aku tidak kesal karenamu. Tapi sekarang aku menjadi kesal karenamu!" Sea keluar dari kamarnya, menepis tangan Baachan.
Baachan menenangkan tangisan Jea, dia memberikan pelukan yang hangat kepada cucu bungsunya itu, sembari menjelaskan maksud Sea, jika ia tidak kesal karenanya.
Pintu rumah Baachan terbuka, grek. Erwin memanggil anak-anaknya. Jea yang dipeluk Baachan, langsung berlari menyambut kedatangan Papanya. Erwin memeluknya dan memberikan kecupan mesra di keningnya. Jea sudah tahu jika Papanya akan menanyakan saudara kembarnya, Jea membisikan sesuatu, Sea sedang kesal, katanya.
Erwin tahu kemana harus pergi, Sea pasti sedang ada di balkon belakang. Dia bergegas kesana sendirian. Dan rupanya, benar, tempat favorit Sea ketika sedang mengekspresikan perasaannya adalah balkon belakang. Erwin mendapati Sea yang sedang berselonjoran sambil menatap langit.
"Sea, ayo pulang! Besok kita pergi ke taman bermain." Erwin melingkarkan kedua tangannya di belakang tubuh Sea.
Sea mengerjap, suara Erwin membuyarkan lamunannya, lalu menarik tangan Papanya, mengeratkan dekapannya, "Papa harus janji, ya." mengangkat jari kelingkingnya yang mungil. Erwin menempelkan kelingkingnya di kelingking Sea, membentuk sebuah janji.
---
Keesokan harinya, Sea dan Jea juga Erwin sudah siap betamasya. Mereka pergi meningglkan rumah sepagi mungkin, khawatir Baachan akan mengajak Sea dan Jea pergi ke kebun. Karena tergesa-gesa banyak perlengkapan yang tertinggal, camilan dan air minum pun ketinggalan. Sea dan Jea yang sudah menyiapkan nyanyian perjalanan, mendadak diam tak bergairah lagi untuk bermain. Erwin merasa bersalah.