Apa Itu Jurnalisme Islami?
Di Sabili, majalah Islam pertama di Indonesia yang terbit pada 1984 sebagai media bawah tanah, wartawan dipekerjakan atas kemampuan mereka berdakwah. Mereka percaya bahwa jalan keluar bagi penyakit-penyakit masyarakat modern terletak pada penerapan syariat, hukum yang ditegaskan di dalam Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad pada abad ke-7: hudud, hukum pidana syariat yang kontroversial, meliputi memotong tangan pencuri dan melempari pezina dengan batu. Namun, wartawan di Tempo—majalah berita Indonesia yang didirikan pada 1971, diberedel oleh rezim Soeharto pada 1994, dan terbit kembali pada 1998—tidak bicara banyak tentang hudud. Walaupun faktanya lebih dari 80% wartawan Tempo adalah Muslim, mereka tidak menganggap diri sebagai islamis atau percaya pada kewajiban bekerja dan hidup dalam negara Islam yang diatur oleh hukum syariat. Kebanyakan mereka tergolong saleh dan menganggap pekerjaan mereka merupakan ibadah. Namun, Islam yang mereka jalankan sering digambarkan sebagai “kosmopolitan”, “progresif”, bahkan “liberal”.
Jadi, pandangan mana yang keliru tentang jurnalisme islami ini? Banyak orang di Barat mempunyai pemahaman monolitik tentang Islam; ketika berpikir tentang Islam dan media, orang Barat berpikir tentang Timur Tengah, budaya Arab, pers yang dikontrol ketat, dan, lebih parah lagi, terorisme. Tentu saja pandangan-pandangan ini tidak hanya dimiliki orang Barat. Pada 2014, ketika saya setuju untuk berbicara tentang riset saya di sebuah festival buku di Indonesia Timur, saya terkejut melihat nama saya ada di daftar program di sebelah judul “Media dan Terorisme”. Dengan cara yang sama, orang Barat mempunyai pemahaman monolitik tentang jurnalisme, dengan menganggap bahwa cara orang mempraktikkannya di Barat juga lazim dilakukan di negara-negara lain. Banyak industri pengembangan media berdasar pada anggapan ini, mengekspor praktik-praktik pemberitaan Barat ke negara-negara berkembang berikut kebebasan persnya (LaMay, 2007; Simon, 2014).
Penelitian saya menunjukkan bahwa anggapan-anggapan di atas tidak benar. Selama lebih dari 2 dekade, beberapa upaya paling menarik dalam hal reformasi demokratis telah muncul di negara-negara Muslim. Beberapa transisi ini, seperti di Indonesia, patut dicontoh karena menjadi inspirasi bukan hanya bagi negara-negara tetangganya, melainkan juga menjadi model potensial bagi negara-negara lain di dunia. Contoh lain, seperti “revolusi” di Mesir yang dimulai pada Januari 2011, mempunyai peninggalan yang jauh lebih ambigu. Apa hubungan antara jurnalisme, Islam, dan penolakan terhadap otoritarianisme ini? Apakah ada sebentuk jurnalisme islami dan, jika memang ada, bagaimana hubungannya dengan reformasi demokratis?
Penelitian tentang jurnalisme dan Islam cenderung digolongkan ke dalam kategori yang lebih luas tentang Islam dan komunikasi. Apa yang disebut antropolog Robert Hefner (1997a, 18) sebagai keyakinan “hampir-universal” di antara para ilmuwan sosial abad ke-20 “bahwa agama, pada posisinya yang paling baik, adalah kekuatan historis yang sedang merosot, yang ditakdirkan untuk memberi jalan pada kekuatan kembar modernisasi ekonomi dan formasi negara-bangsa” terus memengaruhi cara agama dipahami dalam hubungannya dengan perkembangan sistem pers modern. Para ahli teori modernisasi, pada 1950-an khususnya, cenderung tak berminat pada hubungan antara agama dan komunikasi dalam masyarakat modern. Sosiolog Daniel Lerner (2000 [1958], 120), misalnya, menulis, “Entah dari Timur atau Barat, modernisasi mengajukan tantangan dasar yang sama—yaitu penanaman ‘semangat rasionalis dan positivis’, yang di hadapannya, para ilmuwan sepakat bahwa ‘Islam benar-benar tak berdaya’.”
Terlepas dari keyakinan Lerner bahwa masyarakat modern tak terelakkan lagi akan menjadi sekuler, setengah abad kemudian bukan itu yang terjadi. Ahli teori komunikasi keturunan Iran-Amerika, Hamid Mowlana (2003, 309), berargumen, sementara agama di Barat telah dipisahkan dari kehidupan sekuler, dan perilaku etis ditinggalkan di tangan kesadaran individual, dalam Islam “pemisahan agama dari lingkungan sekuler ini tidak mewujud, dan jika ada upaya melakukannya oleh pemikir modern Islam, prosesnya tak akan pernah selesai”. Bahkan, yang dilihat wacana akademis Barat sebagai perbedaan tajam antara pandangan hidup religius dan sekuler telah ditentang oleh para cendekiawan yang mempertanyakan anggapan bahwa sekularisme liberal sepenuhnya terpisah dari konsep-konsep normatif agama (Mahmood, 2009).
Muslim Kosmopolitan
Kebangkitan Islam yang muncul kembali pada akhir abad ke-20 telah mendorong sebagian orang mengusulkan adanya teori Islam mengenai komunikasi. Mowlana (1993, 12) menyarankan agar sebuah “paradigma masyarakat Islam” yang berpegang pada wahyu, dan bukan informasi, memasukkan teori komunikasi ke negara-negara Islam. Ilmuwan komunikasi internasional, Gholam Khiabany (2006, 5–7), menentang reduksionisme dan mencermati bahwa ada berbagai media yang dikonsumsi oleh Muslim di berbagai negara berpenduduk mayoritas Muslim atau non-Muslim. Indonesia dan Malaysia memang memiliki sektor media dalam jumlah signifikan yang mencurahkan diri untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam. Namun, kebanyakan wartawan di kedua negara itu tidak bekerja di media yang secara terbuka mengaku sebagai media Islam. Selain mempertimbangkan pandangan mereka yang mengaku islamis, buku ini juga berfokus pada wartawan yang bekerja di media yang biasanya tidak menyebut diri sebagai media “Islam”. Kendati menolak gagasan tentang teori jurnalisme islami, buku ini juga menolak pandangan “nalar wajar” dari para ahli teori Barat bahwa jurnalisme pada dasarnya adalah pengelolaan yang sekuler.
Penelitian terbaru ilmuwan politik Jeremy Menchik (2016) menerangkan bagaimana wartawan di Indonesia dan Malaysia yang menolak label “liberal” dan “sekuler” pada saat yang sama bisa mempromosikan toleransi dan demokrasi. Dengan mencatat bahwa “pemahaman kita tentang hubungan antara agama dan negara di luar pemerintahan sekuler-liberal itu terbatas”, Menchik (2016, 3) menjelaskan pandangan-pandangan organisasi Muslim di Indonesia yang toleran, tetapi tidak sekuler. Dia menunjukkan adanya toleransi tanpa liberalisme di dua organisasi Muslim terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ternyata hal itu berhubungan langsung dengan temuan saya di antara wartawan taat beribadah di Indonesia dan Malaysia yang mendukung media independen, tetapi juga bekerja di media yang tak bisa disebut liberal atau sekuler dengan cara apa pun.
Cara pandang lain tentang wartawan ini adalah menganggap mereka sebagai “kosmopolitan”. Secara luas, kosmopolitanisme bisa digolongkan sebagai kewarganegaraan dunia, keinginan untuk terlibat bersama orang lain, atau “alternatif jalan-tengah ... antara nasionalisme etnosentris dan multikulturalisme partikularistik” (Vertovec dan Cohen 2002, 1). Hal ini bisa menjadi alternatif bagi konsep negara-bangsa atau, pada tingkat yang lebih pribadi, “kesanggupan berdiri di luar kehidupan yang sudah digariskan atau dituntut oleh kelompok mana pun” (Hall 2002, 26). Menurut sejarawan Carool Kersten (2009), dalam konteks Islam, kosmopolitanisme telah diwujudkan ke dalam alternatif ketiga bagi mereka yang ingin “melayari sekularisme tanpa syarat, tradisionalisme yang lembut, dan tafsir ulang ajaran Islam yang harfiah dan tak bisa dikompromikan”. Di Indonesia, hal itu tampak jelas pada kalangan “cendekiawan Muslim baru”, ulama dan intelektual seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, dan Abdurrahman Wahid, “yang menggabungkan keakraban mendalam dengan tradisi Islam dan pengetahuan yang kuat tentang prestasi dunia akademis Barat dalam ilmu-ilmu humaniora (ibid, 90).
Seperti Kersten, saya menganggap para cendekiawan Muslim baru ini sebagai kosmopolitan dari perspektif “perilaku atau kecenderungan” dan “praktik atau kemampuan” (Vertovec dan Cohen 2002, 7). Ditandai dengan perpaduan kultural (Tomlinson, 1999), para cendekiawan ini tak hanya mempunyai “keinginan untuk terlibat dengan liyan”, tetapi juga kecakapan untuk “merangkul budaya lain dan mengatur siasat ... menggunakan sistem makna tertentu dan bentuk-bentuk yang bermakna dalam cara yang bisa disebut terampil” (Hannerz 1990, 239). Singkatnya, kosmopolitanisme harus “meliputi sikap mental terhadap keberagaman itu sendiri agar budaya-budaya bisa hidup berdampingan dalam pengalaman individual” (ibid, 239).
Di Kepulauan Nusantara ini, yang memiliki ratusan macam budaya yang hidup berdampingan, sikap mental terhadap keberagaman tampaknya sudah dianggap lazim. Semboyan bangsa Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi satu), merayakan kesatuan dalam keberagaman. Namun, dalam ranah agama, kata pluralisme menjadi problematik. Ini karena Muslim konservatif menganggap pengertian “semua agama itu benar” telah melanggar keyakinan bahwa Islam satu-satunya agama yang benar dan dengan demikian harus menjadi aturan tertinggi (Burhani 2013, 111). Seandainya sejarawan David Hollinger (2002, 231) benar bahwa kosmopolitanisme ditandai oleh keinginan untuk terlibat dalam keberagaman manusia, dan harapan bahwa individu akan serempak bergabung dengan sejumlah kelompok sekaligus mendorong “terbentuknya masyarakat-masyarakat baru secara sukarela dengan lingkup lebih luas”, banyak wartawan Muslim di lembaga pers yang diwakili di buku ini sudah tanpa banyak bicara dan konsisten menerapkan kosmopolitanisme.
Para cendekiawan Muslim berpendapat, ada dasar kebenaran yang signifikan bagi kebebasan pers di dalam Islam. Dasar ini menetapkan bahwa prinsip menyeru pada kebaikan dan melarang kemungkaran, nasihat yang tulus, konsultasi, pertimbangan mandiri, dan hak untuk mengkritik pemimpin atau pemerintah, sudah dijelaskan dalam pengakuan tentang kebebasan berekspresi yang menjadi dasar syariat (Kamali 2002, 26). Walaupun wartawan yang diwawancara di Indonesia dan Malaysia sering mengacu pada ayat-ayat dalam Al-Quran saat berbicara tentang pekerjaan sehari-hari mereka, pengetahuan mereka tentang Islam dan ketepatan tafsir mereka bukanlah fokus buku ini. Buku ini lebih menekankan perhatian pada upaya wartawan Muslim mengaitkan makna pekerjaan mereka dalam konteks Islam dan maknanya bagi jenis jurnalisme yang mereka terapkan.
Nilai-Nilai Politik, Nilai-Nilai Wartawan
Seperti tulisan profesor emeritus studi Islam Seyyed Hossein Nasr (2002, 3), “jantung Islam”, yang diekspresikan dalam kalimat syahadat, adalah keesaan (tauhid). Tauhid “melampaui semua dualitas dan relasionalitas” dan “poros tempat segala hal yang islami berkisar”. Dalam Islam, keesaan Tuhan bermakna bahwa kesejahteraan politik masyarakat bukanlah “sebuah gangguan” bagi agama, melainkan “bagian dari agama itu sendiri” (Armstrong, 2002, xi). Tujuan-tujuan mendasar Islam—yaitu masyarakat adil yang semua anggotanya diperlakukan dengan hormat—adalah bagian dari keseluruhan, jalan yang mencakup semua segi dalam kehidupan.
Dalam demokrasi Barat, jurnalisme biasanya dipahami sebagai pekerjaan sekuler. Di Amerika Serikat, pengertian yang lazim tentang peran pers berakar dari gagasan-gagasan Pencerahan dan doktrin tentang hak-hak dasar (Levy, 1985). Pemahaman wartawan Amerika tentang kebebasan pers tumbuh dari model Pencerahan ini ketika pers dipandang sebagai pembela masyarakat melawan kekuasaan sewenang-wenang negara (Bailyn, 1967). Sebaliknya, dalam pemikiran politik Islam, nilai-nilai hukum ataupun nilai-nilai moral ditentukan oleh wahyu Ilahi. Cendekiawan Islam Afganistan, Mohammad Hashim Kamali (1998), menjelaskan bahwa tak seperti hukum konstitusional modern, syariat diilhami oleh kemanunggalan Tuhan dan manusia. “Hukum Islam tidak berangkat dari posisi konflik antara hak dan kepentingan individu melawan negara .... Dengan demikian, dualitas kepentingan yang sering digambarkan dalam konstitusi modern tidak mewakili gambaran yang sama seperti teori pemerintahan dalam Islam” (ibid, 18). Karena hal ini, ada banyak jenis pekerjaan yang di Barat akan dianggap tergolong dalam cakupan sosial atau politik, tetapi dalam masyarakat Islam dianggap mempunyai aspek religius, sekalipun tanpa disadari.
Banyak penelitian tentang jurnalisme dan Islam berfokus pada media di dunia Arab atau jurnalisme di Timur Tengah dengan perhatian utama pada Al-Jazeera (Amin, 2002; Pintak dan Ginges, 2008; Seib, 2008). Sebagai contoh, pada 2002, pakar media Hussein Amin (2002, 127) memberikan gambaran suram jurnalisme Arab, dengan menyatakan bahwa “budaya politik negara-negara Arab menentukan kesuksesan atau kegagalan” media di sana. Ditandai dengan penyensoran dan dominasi satu partai politik, seluruh wilayah ini menderita karena kurangnya kebebasan pers dan media. Amin, menyimpulkan bahwa sampai akhir alaf lalu wartawan Arab “terus menjadi korban gangguan dan tekanan politik, termasuk pemberedelan, penyensoran, larangan bepergian, penyerangan secara fisik, ancaman, penahanan, penangkapan, penyiksaan, penculikan, pencabutan paspor, dan pengasingan”. Amin (ibid, 127) berpendapat, campur tangan pemerintah dalam semua segi kehidupan masyarakat telah merintangi perkembangan pers bebas. Sambil mencatat bahwa kebijakan media nasional di dunia Arab “meneguhkan budaya dan nilai dan tradisi nasional”, Amin (ibid, 129) juga menyebut bahwa penguasa begitu mudah tersinggung terhadap kritik, dan hal ini terlihat dalam banyak undang-undang pidana yang secara jelas melarang kritik terhadap negara, pejabat politik, militer, atau pemimpin agama. Sambil sedikit membahas budaya politik Islam, Amin (ibid, 129) menambahkan, “kebanyakan wartawan Arab secara umum membela masyarakat, tradisi, dan nilai-nilai Islam”, dan bahwa “kebebasan berekspresi tidak termasuk menyerang atau memberi pernyataan negatif tentang Islam atau keyakinan agama”.
Bias geografis mengenai jurnalisme ini berhubungan dengan fokus yang sama biasnya tentang praktik-praktik Islam di dunia Arab—seolah Islam dan budaya Arab itu tunggal dan sama.
Pakar media Laurence Pintak dan psikolog Jeremy Ginges (2008, 193), melalui survei lintas batas yang melibatkan 601 wartawan, mendapati bahwa mayoritas wartawan “menganggap misi mereka adalah menggerakkan perubahan sosial dan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara”. Namun, secara signifikan, Pintak juga mencatat perbedaan cara wartawan di negara-negara ini memandang profesi mereka. Perbedaan ini “dapat dijelaskan oleh sejumlah faktor politik, sosial, dan ekonomi di dalam wilayah yang diteliti, seperti bentuk pemerintahan dan tingkat stabilitas politik, ada tidaknya konflik, dan keadaan ekonominya” (Pintak 2013, 498). Penelitian ilmuwan politik Philip Howard (2011, 33) tentang peran Internet dalam transisi ke demokrasi di negara-negara Muslim juga mencatat, “setelah digabungkan dengan faktor-faktor lain, penyebaran teknologi telah menjadi penyebab penting dan memadai bagi transisi atau pertahanan demokratis”.
Dengan fokus pada pengalaman Arab dan media Arab, penelitian paling mutakhir tentang jurnalisme dan Islam mengabaikan media di Asia Tenggara. Bias ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga meremehkan sekitar 13% populasi Muslim dunia yang tinggal di Malaysia dan Indonesia—yang disebut terakhir ini negara berpenduduk Muslim paling banyak di dunia. Ada beberapa pengecualian pada bias geografis ini, dan karya tulis terbaru dan terpenting tentang jurnalisme dan Islam di Indonesia adalah karya bersama Lawrence Pintak dan Budi Setiyono (2011), yang—bersama tim peneliti Indonesia—melakukan ratusan survei yang melibatkan wartawan Indonesia mengenai pandangan mereka tentang identitas, agama, dan nilai-nilai jurnalistik.
Walaupun survei Pintak dan Setiyono komprehensif, kelemahan riset survei sudah jamak diketahui. Tanggapan wartawan terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam survei itu konsisten dengan temuan saya, jawaban mereka kurang memiliki konteks dan nuansa. Walaupun kelompok informan saya lebih kecil, mereka memercayai saya—saya juga memiliki transkrip wawancara terperinci selama hampir 20 tahun yang saya cantumkan ke dalam daftar pustaka buku ini. Meskipun saya baru mulai berfokus pada jurnalisme dan Islam sejak 5 atau 6 tahun lalu, hubungan jurnalisme dan Islam telah hadir dalam penelitian saya sejak 1999. Bahkan, gagasan pertama yang saya dapatkan tentang hubungan keduanya muncul ketika saya memulai penelitian tentang majalah Tempo. Ulil Abshar Abdalla—saat itu sudah menjadi cendekiawan muda dan kini menjadi ahli teori “Islam liberal” terkemuka—mengatakan, mungkin kontribusi terpenting Tempo adalah perannya dalam memperkenalkan “pembaruan dalam pemikiran Islam”.
Dalam buku Challenging Authoritarianism in Southeast Asia, penyunting Ariel Heryanto dan Sumit K. Mandal (2003, 11) mencatat ketika pada 1997 mereka kali pertama mengonsep studi perbandingan Indonesia dan Malaysia, “tidak mudah mengajukan alasan” untuk proyek tersebut. Hanya dalam setahun, saat Presiden Soeharto dipaksa lengser dan seruan untuk melaksanakan reformasi menyebar hingga ke Malaysia, keengganan meneliti kedua negara dalam konteks perbandingan menjadi tampak aneh.
Indonesia dan Malaysia mempunyai banyak kesamaan, termasuk dalam bahasa, agama, dan budaya, dan sering digambarkan sebagai dua bangsa serumpun. Selain identitas etnokultural, pada masa pasca-Soekarno/Era Konfrontasi, ada semacam perasaan “saudara sedarah” dan keinginan untuk terlibat aktif antara Jakarta dan Kuala Lumpur agar jangan sampai ada perselisihan lagi di antara dua bangsa serumpun ini, seperti kata pepatah “pisang jangan berbuah dua kali” (Liow 2003, 350). Namun, kesamaan yang tampak di permukaan ini ternyata hanya menutupi perbedaan yang sangat besar dan dalam banyak kasus bisa dilacak mundur ke masa pemerintahan kolonial. Sejarah dan budaya politik yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia ini juga memengaruhi cara wartawan berpikir tentang pekerjaan mereka. Faktor-faktor seperti warisan dari pemerintahan kolonial, perkembangan awal pers nasionalis, politisasi agama, posisi pemimpin agama, dan peran negara turut memengaruhi cara jurnalisme diterapkan dan dipahami.