“Anda ingin menulis buku tentang saya?”
Eman Mulyatman adalah pria ramping dengan tanda hitam di kening. Dia adalah pemimpin redaksi terakhir majalah Sabili yang tutup pada April 2013. Saat itu kami berada di kafe Food Hall di lantai dasar Apartemen Puri Casablanca di Kuningan, Jakarta. Waktu itu Ramadan dan kami sedang menunggu waktu berbuka puasa.
Eman mengenakan kemeja batik berwarna ungu yang sebelumnya dia pakai untuk shalat Jumat. Dia sesekali menengok ke belakang untuk melihat apakah ada orang lain yang menguping pembicaraan kami.
“Tidak,” jawab saya. “Saya akademisi dan saya sedang menulis tentang prinsip-prinsip jurnalisme dan ajaran Islam.” Kami berdua berpikir tentang My Friend the Fanatic, buku karya Sadanand Dhume yang terbit pada 2009 tentang Herry Nurdi, juga mantan pemimpin redaksi Sabili dan teman Eman. Dhume mempekerjakan Herry sebagai fixer-nya, kemudian menulis buku dengan Herry sebagai tokoh utama. Walaupun buku itu menambah tenar Herry, isinya juga membuat namanya buruk. Herry dituduh “intel” atau mungkin bekerja untuk CIA. Meskipun paranoia Eman tampak berlebihan, memang begitulah ciri khas Sabili, majalah dengan sejarah penuh intrik dan rumor bahwa majalah itu disusupi pihak lain. Sebagai media islami yang terang-terangan menyerukan penerapan syariat dan membela kepentingan Muslim dari Maluku hingga Palestina, tidak mengejutkan bahwa Sabili menarik perhatian pemerintah Indonesia.
Sabili adalah media yang sulit untuk ditulis. Jenis Islam yang direpresentasikannya disebut skripturalis, literalis, dan bahkan fundamentalis (Liddle 1996b, 271).6 Setidaknya ada tiga aspek berbeda dari majalah islamis ini yang membuat alur ceritanya menjadi saling silang: jurnalisme, politik, dan intrik. Politik majalah ini—yang secara beragam digambarkan sebagai “sensasional”, “provokatif”, dan cenderung menawarkan “teori konspirasi pendukung Perang Salib dan Zionis” (Lim 2005, 23)—telah mendapatkan perhatian yang sangat besar. Namun, media ini belum diuji dalam hal bagaimana para editor dan reporternya memandang praktik jurnalistik. Sekalipun sifat dasarnya provokatif—termasuk saat menyebut Abu Bakar Ba’asyir, orang yang diyakini sebagai inspirator spiritual bagi para pengebom Bali, sebagai “tokoh tahun ini” pada 2002—setidaknya beberapa redaktur majalah ini memikirkan jurnalisme secara serius.7 Bahkan, dari lima media yang saya teliti, bisa dibilang Sabili satu-satunya yang memiliki teori utuh tentang jurnalistik dan Islam, walaupun tidak selalu setia pada prinsip-prinsipnya sendiri.
Islam di Indonesia
Di Indonesia, peran negara dalam agama amat berbeda dibandingkan dengan di Malaysia. Seperti yang ditegaskan oleh pakar hukum Islam M.B. Hooker (2003, 12), Belanda yang menjajah Indonesia “benar-benar salah memahami Islam” dan menganggap Islam sebagai agama hierarkis yang diatur ketat dan mirip dengan Katolik Roma. Sejarawan Harry J. Benda (1958, 19) berpendapat bahwa di Indonesia, Belanda lebih mencemaskan pemberontakan alih-alih mengatur Islam: “Kekhawatiran ini telah membantu membentuk sebuah kebijakan persekutuan dengan elemen-elemen masyarakat Indonesia—terutama para pangeran dan priayi di Jawa, juga para sultan, raja, dan pemimpin adat di pulau-pulau lain—yang, untuk alasan politis mereka sendiri, dikenal sebagai Muslim yang “suam-suam kuku” dan menjadi musuh langsung “fanatisme” Islam. Pada 1889, ketika Christiaan Snouck Hurgronje ditunjuk sebagai Penasihat Urusan Arab dan Pribumi, Belanda mulai mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakan mereka.
Snouck bekerja untuk meredakan kekhawatiran Belanda dengan membedakan antara Islam sebagai agama dan kekuatan politik. Berpendapat bahwa Belanda tak perlu takut terhadap Islam sebagai agama, Snouck menyarankan pemerintah kolonial toleran terhadap kehidupan beragama orang Islam. Namun, pada saat yang sama, dia juga meminta kebijakan untuk waspada terhadap “semua gejala yang melahirkan, atau cenderung melahirkan, sebuah karakter politik” (Benda 1958, 24). Dalam pandangan Snouck, modernisasi adalah kunci untuk mengatur Islam di Indonesia. Hal ini akan dapat dicapai terutama melalui pendidikan dan dengan membuat elite priayi sebagai peserta aktif dalam budaya dan kehidupan sosial Belanda. Kebijakan tersebut sukses secara terbatas. Di Hindia Timur, para hakim syariat dan ulama desa diasingkan dari pusat kekuasaan elite—keadaan yang akan mempunyai dampak sangat besar bagi peran Islam dalam Indonesia pascakolonial. Sedangkan di Malaya Inggris, otoritas keagamaan negara diberi kekuasaan untuk menghukum “pengikut Muhammad yang melanggar”, seperti berbuka puasa di depan umum saat Ramadan, berjudi, dan tidak datang ke masjid untuk shalat Jumat. Di Hindia, “pemimpin Islam ingin memisahkan semua bidang kehidupan islami dari kontrol Belanda” (Yeger 1979, 264). Ulama juga menjadi lawan atas kekuasaan dan kontrol negara karena mereka sulit diajak bekerja sama.
Seperti yang dicatat Hooker (2003, 14), para nasionalis Indonesia tak begitu bersimpati terhadap perjuangan Muslim dan menganggapnya sebagai ancaman bagi kemerdekaan pada masa depan. Dalam pandangan mereka, posisi Muslim “berbasis petani dan tak sejalan dengan ideologi sosialis dan liberal”. Walaupun pada hari-hari terakhir pendudukan Jepang sebuah koalisi organisasi Muslim mendukung konstitusi untuk memasukkan kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi semua pemeluknya”, pandangan Soekarno yang lebih pluralis yang menang (Laffan 2003, 407). Kata-kata tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter), masih bergaung dalam ideologi politik islamis Indonesia hingga hari ini.
Meskipun diskusi tentang negara Islam berada di luar pembahasan buku ini, penting kiranya untuk mencatat bahwa debat tersebut bisa dilacak hingga ke 1930-an dan 1940-an.
Tokoh nasionalis sekuler seperti Soekarno mendukung pemisahan antara agama dan negara, sedangkan Muslim modernis seperti Mohammad Natsir menentang gagasan itu (Hooker 2003, 30).
Pada 1945, ideologi Pancasila diterima sebagai kompromi yang dibutuhkan untuk menjembatani keinginan partai-partai Islam untuk mendirikan negara Islam dan kekhawatiran pihak nasionalis-sekuler bahwa non-Muslim dari “pulau-pulau yang jauh” akan meninggalkan republik yang masih muda ini. Kompromi tersebut bukanlah Islam dan juga bukan sepenuhnya sekuler. Seperti pendapat Karel Steenbrink (1999, 81), sila pertama dari lima sila, yaitu kepercayaan kepada “Ketuhanan yang Maha Esa”, memang seharusnya dimaknai seperti yang tertulis dan bukan sebagai konsep tentang Tuhan yang lebih personal. Walaupun Pancasila menjadi satu alat untuk menjaga koalisi nasionalis, Muslim, dan komunis (Nasakom) yang nyaris mustahil selama masa “Demokrasi Terpimpin” Soekarno, banyak Muslim merasa lawan-lawan mereka menggunakan ideologi itu sebagai senjata untuk melemahkan Islam.
Di bawah rezim Orde Baru Soeharto, Pancasila menjadi “agama sipil resmi” (ibid, 281). Pada 1984, tahun berdirinya Sabili, lima undang-undang meminta agar Pancasila menjadi dasar tunggal bagi semua organisasi sosial dan politik, termasuk organisasi keagamaan (Hefner, 2000). Dengan demikian, seperti kata pengamat Asia Tenggara, Lili Yulyadi Arnakim (2011), perdebatan tentang negara Islam atau nasionalis telah rampung. “Efek kebijakan keras Soeharto untuk mengontrol Islam politik mirip dengan apa yang didukung oleh Snouck Hurgronje, yakni memisahkan Islam dari politik. Jika Hurgronje berusaha mencegah adanya kepemimpinan Islam politik, pemerintahan Soeharto berusaha menghancurkan kepemimpinan itu dan berusaha menjauhkan umat Islam dari politik dan ideologi islamis (ibid, 51).
Organisasi-Organisasi Muslim di Indonesia
Indonesia adalah rumah bagi beberapa organisasi Muslim penting, termasuk organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan di Jawa Timur pada 1926. NU adalah “tradisionalis” dalam arti organisasi ini membela peleburan praktik-praktik ritual lokal dalam kehidupan keagamaan. Praktik-praktik ini berkisar dari peringatan Maulid Nabi dan tahlilan hingga ziarah ke kuburan para ulama dan tempat suci lain. NU cenderung mengikuti ajaran ulama besar masa lampau alih-alih berfokus pada pemikiran independen. Di Jawa, praktik NU direproduksi lewat sistem pendidikan pesantren yang dipimpin oleh para kiai karismatik. Para kiai memberi penekanan kuat pada studi teks Arab klasik dan fikih, aturan hukum dari salah satu dari empat mazhab Islam Suni. Para pengkritik NU menuding organisasi ini “suka pada takhayul, meniru mentah-mentah apa yang dilakukan generasi sebelumnya, dan menjalankan kepercayaan serta praktik tanpa referensi skriptural yang asli” yang terkadang meliputi “hubungan dengan dunia gaib, campur tangan orang suci, dan berbagai bentuk sihir” (van Bruinessen 2013, 22).
Berkebalikan dengan tradisionalisme NU adalah aliran “modernis” atau “reformis” Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada 1912. Pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, berasal dari keluarga terkemuka; ayahnya adalah ulama yang berafiliasi dengan Masjid Sultan Yogyakarta. Karena merasa frustrasi dengan praktik-praktik keagamaan setempat, Ahmad Dahlan mengunjungi Mekah dua kali, yakni pada 1890 dan 1902. Dia diyakini mempelajari gagasan-gagasan reformis Muhammad Abduh melalui majalah Al-Manar (Menchik 2016, 38–39). Muhammadiyah menjadi bagian gerakan global untuk memodernisasi dan memurnikan Islam dengan cara membersihkannya dari praktik-praktik yang tidak didukung oleh Al-Quran dan hadis dan menekankan pendidikan ilmu pengetahuan dan reformasi sosial. Sekolah-sekolahnya memiliki kurikulum modern, tak mempunyai kiai karismatik, dan tak menggunakan teks Arab. Nahdlatul Ulama didirikan oleh kaum tradisionalis sebagai jawaban langsung atas ancaman terhadap praktik keagamaan tradisional yang sepertinya ditunjukkan oleh Muhammadiyah dan kaum reformis.
Belakangan, selama masa pemerintahan Soeharto, Indonesia melahirkan bentuk baru gerakan Islam di luar Muhammadiyah dan NU, yaitu jaringan kelompok studi Islam “semi-bawah tanah” sebagai bagian dari gerakan tarbiah yang muncul di kampus-kampus pada 1980-an. Salah satu jaringan ini adalah cabang Indonesia dari Ikhwanul Muslimin yang membentuk partai politik, Partai Keadilan (PK), dan kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (van Bruinessen 2013, 29).8 Pada masa-masa awalnya sewaktu masih bersifat bawah tanah, majalah Sabili dikaitkan dengan gerakan tarbiah dan awal dari Partai Keadilan. Antropolog Martin van Bruissen mencatat, aspek penting yang membedakan gerakan tarbiah dari Muhammadiyah dan NU adalah karakter transnasionalnya. Muhammadiyah dan NU adalah “organisasi nasional, dalam arti ... menjadi bagian dari gerakan kemerdekaan nasional dan membaktikan diri pada gagasan Indonesia sebagai bangsa”, sedangkan gerakan tarbiah diilhami oleh otoritas di luar Indonesia dan “wajib memperlihatkan kesetiaan kepada otoritas yang berbasis di Timur Tengah” (ibid, 30).
Orde Baru
Ketika Sabili didirikan pada 1984, kaum Muslim Indonesia merasa dipinggirkan walaupun menjadi mayoritas dalam jumlah penduduk. Pada 1966, Angkatan Darat bergantung pada Nahdlatul Ulama dan organisasi sayapnya yang bernama Ansor untuk melaksanakan pembantaian orang-orang komunis di Jawa Timur. Namun, para pemimpin Muslim yang berharap menerima penghargaan atas kesetiaan mereka merasa sangat kecewa (Hefner, 2000). Tak lama kemudian, jelaslah bahwa pemerintahan Orde Baru tak punya niat menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Sikap Soeharto yang menolak kembalinya partai politik Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang sempat dinyatakan terlarang—sebagaimana partai-partai politik Islam yang pada 1973 dipaksa untuk “disederhanakan” menjadi partai yang disetujui pemerintah dengan nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP)—hanya menambah kemarahan dan kebencian.
Pandangan agama Orde Baru adalah bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan mesti didorong dan didukung oleh negara, tetapi semua kegiatan itu tak boleh ada dalam ranah partai dan organisasi politik.
Pakar studi Islam Luthfi Assyaukani (2009, 103) menjelaskan bahwa model ini, yang dia sebut “negara demokratis agamis”, bersandar pada dua dasar pikiran: penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan penolakan terhadap sekularisme. Model ini menerapkan dua hal penting: menolak konsep negara Islam dan mengabsahkan penetapan agama oleh negara (ibid, 110). Dengan demikian, agama diubah menjadi sesuatu yang privat, berada di luar politik, dan perjuangan untuk mendirikan negara Islam digantikan dengan tujuan menciptakan masyarakat yang agamis.
Pada 1971, Mukti Ali terpilih menjadi Menteri Agama “dengan harapan dia akan mencurahkan keahlian dan perhatiannya pada reorientasi kebijakan keagamaan di Indonesia, yang harus selaras dengan cita-cita Orde Baru tentang strategi modernisasi yang bersifat religiopolitikal” (Munhanif 1996, 103). Walaupun sangat diasosiasikan dengan strategi Orde Baru tentang agama, Mukti Ali kesulitan meyakinkan kaum Muslim Indonesia bahwa kebijakan pengembangan modernisasi bukanlah sekaligus strategi budaya untuk memisahkan agama dari negara. Mukti Ali langsung diserang dan dituduh sebagai antek Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang didominasi oleh orang Katolik dan pengikut spiritualisme Jawa atau Kejawen. Situasi lebih riuh lagi saat dia mengusulkan Undang-Undang (UU) Perkawinan 1974. Walaupun UU itu dimaksudkan untuk menyatukan hukum nasional tentang perkawinan bagi semua orang Indonesia, banyak orang menganggap ketetapan itu sebagai skenario politik untuk membuat Muslim menjadi sekuler.
Plot, Konspirasi, dan Paranoia
Syamsul Rijal (2005, 425) dari IAIN Makassar mencatat, “studi tentang kemunculan kembali kaum islamis pasca-Soeharto tidak akan komprehensif tanpa mempertimbangkan peran Sabili.” Dari lima media yang dibahas dalam buku ini, Sabili satu-satunya yang konsisten merangkul istilah “islami”. Didirikan pada 1984 sebagai media bawah tanah, Sabili beredar dari tangan ke tangan di kampus-kampus dan di antara anggota kelompok-kelompok tarbiah, yang menjadi pembaca paling setia majalah itu. Liputan kritis tentang aksi militer berlebihan pada 1984 saat terjadi tragedi Tanjung Priok (dalam peristiwa itu tentara menembaki sekelompok demonstran Muslim tak bersenjata) mengakibatkan majalah itu dan pihak-pihak yang berafiliasi dengannya dicap oleh Orde Baru sebagai kelompok “ekstrem kanan”. Kelompok ini bersama kelompok “ekstrem kiri” komunis digambarkan sebagai ancaman nyata terhadap rezim (Irawanto 2011, 75). Ketika Sabili memutuskan tutup untuk menanggapi panggilan dari aparat keamanan Soeharto pada 1993, sirkulasi majalah itu sudah mencapai sekitar enam puluh ribu eksemplar.
Seperti Tempo, Sabili kembali terbit pada 1998 sebagai berkah Era Reformasi. Pada 2002, Sabili mengklaim pembaca mingguannya mencapai empat ratus ribu orang, walaupun angka ini mustahil diverifikasi. Majalah tersebut tutup pada minggu pertama April 2013. Oleh para mantan wartawan Sabili, kondisi itu disebut akibat pengelolaan keuangan yang buruk. Meskipun majalah ini dilahirkan oleh gerakan tarbiah yang juga membentuk PKS, Sabili tak pernah secara resmi berafiliasi dengan organisasi politik mana pun. Hal ini berkebalikan dengan Harakah di Malaysia yang menjadi organ Parti Islam Se-Malaysia (PAS). Terlepas dari tidak adanya afiliasi resmi, mantan Direktur Lutfi Tamimi memperkirakan, beberapa tahun sebelum Sabili tutup, sebanyak 90% redaktur dan reporter majalah itu anggota PKS.
Terbit sebagai majalah yang awalnya fokus pada dakwah, ketika kembali terbit pada 1998, Sabili menaruh lebih banyak perhatian pada Islam politik “yang biasanya berasal dari sudut pandang kaum garis keras” dan mendukung penerapan syariat secara formal (Rijal 2005, 427). Ketika saya mewawancarai pemimpin redaksi terakhir Sabili, Eman Mulyatman, pada Maret 2013, dia menegaskan bahwa lima topik utama majalah itu adalah kemurtadan, kristenisasi, mazhab-mazhab menyimpang, “masalah” Islam liberal, dan isu-isu Islam di tingkat internasional seperti konflik Israel-Palestina. Sabili bahkan tampak terobsesi dengan topik-topik tersebut, mengisi halaman demi halaman dengan tuduhan bahwa para musuhnya sengaja merusak Islam. Siapa para pelakunya? Zionis, Barat, dan kaum liberal, dan Sabili secara cermat mendokumentasikan metode mereka. Walaupun musuh Islam “kadang-kadang tampak seperti Muslim”, agenda mereka sudah pasti, yaitu “menanamkan feminisme, sekularisme, pluralisme, [dan] liberalisme”. Metode para musuh itu “menaburkan keraguan, mendekati Allah dari perspektif logika, dan memetakan arah baru bagi Islam dengan berpura-pura bersikap biasa” (Satria dan Handoko, 2010). Gagasan-gagasan Sabili tentang “konspirasi global melawan Islam” hampir sama dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir (Kandill 2015, 54–58).
Sebuah tulisan feature tentang kemurtadan di Sabili menawarkan seluk-beluk kisah bagaimana misionaris mendorong kristenisasi. Hal ini termasuk menyediakan makanan, keuangan, dan pendampingan emosional kepada para pendatang di Jakarta yang kebanyakan hanya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pemulung. Para korban tanah longsor dan gempa bumi, bersama para tunanetra dan “kelompok marginal” lain, juga menjadi target misionaris. Sabili mencatat, anak-anak rentan terhadap godaan hadiah Natal dari misionaris, seperti buku, mainan, dan uang untuk beasiswa. Majalah ini menuduh LSM internasional (seperti Doctors without Borders, Church World Services, World Vision, Oxfam, dan Save the Children) dan “kelompok Zionis” (seperti Rotary Club dan Lions) berusaha mengambil keuntungan dari bencana alam untuk memperlemah Islam dan mempromosikan kristenisasi (Nurdi, 2010). Sabili memperingatkan para pembacanya tentang “tipu muslihat” Kristen, termasuk kegiatan mendanai usaha kecil yang membutuhkan modal atau “menikahi gadis-gadis desa yang membutuhkan uang untuk acara pernikahan mereka” dan mengumumkan bahwa anak-anak yang lahir dari pernikahan ini (terutama anak laki-laki) adalah orang Kristen dan harus dibaptis. “Itulah yang biasa dilakukan misionaris Katolik,” kata seorang narasumber Sabili (Satria, 2010a).
Seperti yang dicatat oleh redaktur senior Tempo, Idrus Shahab: “Ketika kita berbicara tentang Sabili, isinya opini; [jurnalisme] harus menyertakan data.” Memang benar bahwa majalah itu berisi sejumlah cerita yang tak bisa digolongkan sebagai tulisan jurnalistik sama sekali. Sebagai contoh, sebuah liputan utama pada Januari 2013 menyebut bahwa banjir besar di Jakarta adalah hukuman dari Allah karena penyelenggaraan car free night dan kembang api di kawasan Monas pada malam Tahun Baru. Sebuah tulisan di sampul belakang majalah juga menegaskan bahwa jins dan pakaian “seksi dan ketat” yang dipakai kaum perempuan bukan hanya sama dengan telanjang, melainkan juga merupakan pintu gerbang menuju neraka.9 Saat saya bertanya kepada Eman Mulyatman apakah dia menganggap artikel-artikel tersebut sebagai tulisan jurnalistik, dia menjawab, “Memang, ada masalah kurangnya pembelajaran. Ada juga godaan-godaan ketika Anda bekerja di Sabili. Mungkin godaan itu yang memperlemah jurnalisme Anda. Mungkin ada godaan untuk mengarahkan diri Anda pada misi dakwah. Saya pikir itulah masalahnya.” Dia lalu menambahkan: