Mediating Islam (Indonesian Edition)

Bentang Pustaka
Chapter #3

Republika (Islam sebagai Ceruk Pasar)

Saat itu Natal 2012. Saya berada di taksi Bluebird dalam perjalanan ke kantor surat kabar Republika untuk ikut rapat redaksi harian. Tembang “O Come All Ye Faithful” mengalun di radio, tetapi Kasno, orang Jawa yang menjadi sopir saya saat itu, mematikannya ketika kami memasuki Jalan Rasuna Said menuju selatan. Jalanan lengang. Saya pergi ke Republika karena ingin melihat wartawan berinteraksi dengan saya pada Hari Natal. Saya sangat penasaran apakah mereka akan mengucapkan “Selamat Natal” kepada saya atau tidak. Tahun ini, seperti biasanya, ada beberapa kontroversi tentang ucapan itu. Banyak Muslim memilih mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang terbit pada 1981 yang menyarankan agar Muslim tidak mengucapkan selamat hari raya kepada orang Kristen.

Ketika tiba di kantor Republika, ada dua mobil di tempat parkir, ditambah beberapa mobil van milik kantor. Seorang satpam menanyakan keperluan saya. Setelah saya jawab, dia bilang rapat berlangsung hingga pukul 14.00. Saya mengirim SMS kepada Elba Damhuri, Pemimpin Redaksi, yang mengonfirmasi hal itu. “Two o’clock, Janet. Merry Christmas. Begitu bunyi SMS balasannya dalam bahasa Inggris. Mengapa ini penting? Sebab, Republika punya reputasi sebagai surat kabar konservatif. Republika mengikuti pimpinan MUI dan Nahdlatul Ulama (NU) serta Muhammadiyah, dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Namun, pada Natal itu, 3 dari 9 redaktur yang menghadiri rapat redaksi mengucapkan “Selamat Natal”. Beberapa lagi menjabat tangan saya. Saya membawa kue chocolate chip dan seorang redaktur meminta pesuruh kantor membawakan Coca Cola dan Coke Light. Pertemuan ini terasa istimewa.

Tajuk utama edisi 26 Desember itu adalah “Natal Damai di Jakarta”. Halaman 2 berfokus pada kelompok-kelompok pemuda Muslim yang menyediakan bantuan keamanan dalam perayaan Natal dan atmosfer toleransi dan pluralisme yang kuat. Seperti gagasan yang ditulis seorang editor untuk edisi esok hari: “Hal ini menunjukkan bagaimana Islam juga bisa dianggap toleran.” Setelah rapat usai, kami duduk-duduk sebentar dan mengobrol. Saya bertanya apakah mereka pikir ada orang di Republika yang menganggap mengucapkan Selamat Natal kepada saya atau orang lain itu bermasalah. Mereka tampak terkejut. “Tidak,” kata mereka. “Jelas tidak ada.” Elba Damhuri menambahkan, Republika sering diserang oleh kaum konservatif agamis karena terlalu liberal. Misalnya, beberapa hari sebelumnya, saat surat kabar ini menerbitkan iklan berisi ucapan “Selamat Natal”. Elba Damhuri berkata, dia menerima sejumlah SMS sebagai reaksi atas hal itu—semuanya bernada mengkritik.

Wartawan di Republika mungkin tak menyadari argumen akademis tentang debat soal adakah “komunikasi islami”. Namun, mereka bergulat dengan soal ini setiap hari. Didirikan pada 1993, Republika mempunyai misi yang jelas: melayani komunitas Muslim. Sirkulasinya diperkirakan mencapai tujuh puluh ribu eksemplar dan jumlah pembacanya sampai dua hingga empat kali lipat dari angka tersebut. Surat kabar ini pun meraih audiens kelas menengah dalam jumlah besar dengan pembaca berusia antara 20 hingga 40 tahun.14 Indonesia sering digambarkan sebagai “negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia”, tetapi sudah lama ada perasaan bahwa kaum Muslim dipinggirkan. Meskipun ada tradisi yang patut dimuliakan tentang “pers islami”, surat-surat kabar ini biasanya hanya mempunyai sirkulasi kecil dan berumur pendek. Republika, harian besar dan umum, yang telah berkembang pesat selama lebih dari 2 dekade menjadi pengecualian. Menurut para redaktur Republika, pada pertengahan 2016 surat kabar ini menempati peringkat tiga sebagai surat kabar paling banyak dibaca di Indonesia.15

Didirikan pada 1993 dengan restu Presiden Soeharto dan dukungan finansial dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Republika kini diterbitkan oleh Mahaka Media, jejaring bisnis dengan banyak anak usaha. Sejarah surat kabar ini menggambarkan sejumlah tema penting, termasuk hubungan antara jurnalisme dan Islam, kesulitan mempertahankan independensi di bawah rezim otoriter, dan keuntungan serta kerugian akibat komersialisasi. Di atas semua itu, Republika sekarang sepenuhnya komersial. Dampaknya bukan hanya pada jenis topik yang diliput, melainkan juga pada gaya laporan surat kabar ini. Dalam dunia dengan sumber daya yang semakin berkurang, para pembaca yang semakin menua, dan guyuran uang iklan yang semakin jarang, semua media cetak sadar apa arti komersialisasi. Namun, bagi Republika, fokus komersial ini mencerminkan sesuatu yang lebih dari sekadar kebutuhan untuk bertahan; sampai taraf yang lebih jauh, pasar Republika-lah yang menentukan isi terbitan mereka.

Ketika Anda memasuki kantornya di Jalan Warung Buncit Nomor 37 untuk kali pertama, kantor Republika tidak banyak berbeda dibanding kantor-kantor media lain di Indonesia. Bentuknya aneh dengan tangga melingkar yang besar. Gedung itu pada awalnya dimaksudkan sebagai “tempat hiburan”, lengkap dengan sauna di Lantai 4. Tidak ada tanda apa pun yang menunjukkan bahwa bangunan itu markas surat kabar Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. Di Republika, tidak ada orang berpakaian “islami”, tidak ada jubah putih atau janggut panjang. Walaupun banyak redaktur dan reporter perempuan memakai jilbab, sebagian yang lain tidak mengenakannya. Seperti saat menghadiri shalat Jumat, “Itu urusan pribadi,” kata Nasihin Masha, Pemimpin Redaksi Republika hingga Maret 2016. Irfan Junaidi, yang kemudian menggantikan Nasihin, sepakat dengannya.

Walaupun tidak banyak “simbol” Islam, Republika tak perlu diperdebatkan lagi sebagai surat kabar dengan tujuan jelas, yakni melayani masyarakat Muslim. Nasihin, kini menjadi “redaktur khusus”, berkata bahwa Republika mempunyai lima prinsip dasar: modern, moderat, Muslim, nasionalis, dan kerakyatan. Ikhwanul Kiram Mashuri, lulusan pesantren modern Gontor dan Universitas Al-Azhar di Kairo, serta redaktur Republika hingga 2010, bahkan bicara lebih tegas tentang misi Republika sebagai surat kabar komunitas Muslim. Dalam tulisan tentang sejarah Republika bagi kalangan internal, dia menulis, “Dari halaman pertama hingga terakhir ... tak ada yang menyimpang dari kerangka kerja amar makruf nahi mungkar”.

Para cendekiawan berpendapat bahwa “mencegah perbuatan buruk” menjadi sangat penting dalam Islam. Muslim juga berkewajiban menghentikan kejahatan ketika mereka melihatnya (Cook, 2003). Namun, bagaimana prinsip yang masih bersifat abstrak itu diterapkan dalam jurnalisme praktis? Wartawan Republika berbicara tentang kebutuhan menjadi inspiratif.

Sebagai Pemimpin Redaksi, Elba Damhuri menjelaskan, dalam praktiknya hal itu berarti bukan hanya melaporkan keadaan seperti apa adanya, melainkan juga memberi inspirasi tentang keadaan yang seharusnya.

Inilah yang membuat Republika berbeda dari media-media lain. “Inilah yang saya maksud dengan Islam ‘substansial’,” katanya. “Kami tidak bisa hanya berdiam diri melihat para tetangga miskin. Itu salah. Kami tidak bisa diam saja melihat gereja dibakar. Itu tidak boleh. Kami tidak bisa membiarkan kaum Ahmadiyah dibakar.16 Kami bekerja karena kami harus mengatakan sesuatu: toleransi. Inilah yang disebut Islam substansial.”

Ketika Syahruddin El Fikri, redaktur senior Republika, membandingkan surat kabarnya dengan media Indonesia lain seperti Tempo—yang sebagian besar wartawannya juga Muslim—dia sepakat bahwa kalimat syahadat wartawan di dua tempat sama. Namun, yang membedakan, menurut dia, fokus Republika pada solusi. Ketika terjadi kekerasan terhadap orang-orang Ahmadiyah, Tempo akan meliputnya dengan fokus pada kurangnya toleransi. “Kami memandangnya dari perspektif yang berbeda,” kata Syahrudin. “Kami mencari solusi, tidak menambah kegelisahan. Tempo akan fokus pada masalah korupsi. Ya, kami harus menyoroti masalah korupsi, tetapi bagaimana mencari solusinya? Bagaimana masalah itu bisa dipecahkan dengan cara yang positif? Dalam hal ini, kami sangat berbeda.”

ICMI, Republika, dan Pers pada Masa Orde Baru

Sejarah Republika sangat terkait dengan sejarah pers pada masa Indonesia modern dan dengan berakhirnya otoritarianisme. Sejarah surat kabar tersebut juga bersinggungan dengan sejarah Tempo dengan cara yang menarik. Ketika pada 1993 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mencari izin untuk menerbitkan surat kabar, lembaga tersebut beruntung karena dapat memanfaatkan staf Berita Buana, surat kabar yang ditutup setahun sebelumnya oleh pemilik yang takut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)-nya akan dicabut. Berita Buana didirikan pada 1945 dan sering berganti nama, termasuk saat dihidupkan kembali oleh sekelompok wartawan yang meninggalkan Tempo pada awal 1990-an. Gagasan mereka membuat surat kabar untuk komunitas Muslim, tetapi “tidak membawa bendera Islam”.17 Zaim Uchrowi, salah seorang pemimpin kelompok ini, menjelaskan, “Kami pikir ada pasar yang belum disentuh—Muslim di perkotaan. Pada zaman sebelumnya, ada surat kabar bernama Abadi, dan sebelumnya pada 1970-an ada Duta Masyarakat. Namun, keduanya kini tidak ada. Jadi, kami pikir, kami bisa membuat surat kabar seperti Kompas. Walaupun masyarakat yang dominan beragama Islam, kami tidak ingin menjadi ‘surat kabar Islam’. Harus surat kabar biasa. Karena tak memiliki SIUPP saat itu, kami berusaha mencari surat kabar yang bisa kami ajak bekerja sama. Dan, surat kabar itu adalah Berita Buana.”

Mantan wartawan Tempo yang bergabung dengan Berita Buana yang baru adalah Farid Gaban, seorang penulis berbakat yang, bersama Zaim, dipuji karena membawa gaya jurnalistik Tempo ke surat kabar. Dengan mantan wartawan Tempo seperti Farid Gaban, Zaim Uchrowi, Abdul Rachman, dan Budiono Dharsono, ICMI bisa memanfaatkan sekelompok wartawan yang sangat profesional, terlatih menulis bergaya Tempo, dan dikenal karena integritas dan tulisan mereka yang bertenaga.

ICMI juga mempunyai sejarah yang rumit. Didirikan pada 1990 di bawah kepemimpinan Menteri Riset dan Teknologi, B.J. Habibie, ICMI adalah gabungan para cendekiawan independen, aktivis, dan birokrat pemerintah yang berharap dapat mencari muka pada rezim. Banyak kritik terhadap ICMI yang menganggap lembaga ini lebih sebagai kendaraan bagi aspirasi politik Habibie atau malah untuk Soeharto yang terpilih kembali sebagai presiden pada 1993 (Hefner 1993, 25). Didirikan pada saat Soeharto membuat serangkaian langkah bersahabat kepada masyarakat Muslim—terutama kelas menengah perkotaan yang tumbuh pesat—banyak orang memandang ICMI dengan skeptis, menganggap lembaga itu sebagai alat rezim, “instrumen yang didesain dan dimanfaatkan oleh Presiden Soeharto untuk kepentingannya sendiri” (Liddle 1996a, 615). Sejarawan Rémy Madinier (2015) menyimpulkan bahwa kenyataannya ICMI jauh lebih kompleks. Di dalam tubuh ICMI terdapat tiga kelompok yang memperjuangkan “kepemimpinan moral” untuk organisasi tersebut. Mereka adalah para teknokrat rezim yang sepaham dengan Habibie dan organisasi politik Golkar; cendekiawan penganut modernisme seperti Nurcholish Madjid yang berharap dapat menyebarluaskan nilai-nilai sosial Islam; dan para pemimpin Muslim seperti Amien Rais dan Adi Sasono yang mempunyai ambisi politik mereka sendiri (ibid, 441).

Sejak awal, ICMI berharap dapat mendirikan surat kabar yang akan merepresentasikan seluruh masyarakat Muslim. Ketika SIUPP milik Berita Buana tersedia, organisasi itu tak membuang waktu lagi untuk memperolehnya, sekaligus dengan surat kabarnya. Padahal, ICMI juga punya anggota yang terdiri atas elemen-elemen sektarian dan eksklusif. Namun, ketika sayap lembaga itu yang lebih progresif dikombinasikan dengan para mantan wartawan Berita Buana, mereka sanggup membuat surat kabar yang pada awalnya dikenal sebagai “Islam kosmopolitan” dan secara tak langsung menantang otoritarianisme rezim yang menyokongnya.18 Meskipun jelas-jelas mendapat tekanan politik, wartawan Republika berkomitmen membuat surat kabar yang “toleran, plural, dan modern, sekaligus saleh dan kritis” (Hefner 1997b, 97).

Selama beberapa tahun pertama, Republika adalah tempat bagi wacana Islam dengan rentang topik yang luar biasa, terutama pada halaman-halaman rubrik mingguan “Dialog Jumat”. Dengan majelis dan dewan redaksi yang terdiri atas para cendekiawan paling dihormati di Indonesia, termasuk Nurcholish Madjid, Haidar Bagir, dan Amien Rais, para redaktur dan penulis Republika adalah orang terkemuka di kalangan cendekiawan Muslim. ICMI juga merekrut penulis dari Majelis Sinergi Kalam, wadah pemikir ICMI, untuk menjadi tim penelitian dan pengembangan (litbang). Salah seorang anggota tim ini adalah Ade Armando, kini dosen di Jurusan Komunikasi di Universitas Indonesia. Dia mengonfirmasi bahwa istilah “Islam kosmopolitan” sering dipakai saat itu. “Islam kosmopolitan adalah sebuah merek,” katanya. “Merek yang kami gunakan untuk membedakan diri kami dari kelompok-kelompok lain. Islam yang menghargai keterbukaan, Islam yang siap untuk berdemokrasi, dan Islam yang menghargai hak asasi manusia.”

Mantan wartawan Republika, Daru Priyambodo, kini bekerja di surat kabar Tempo, ingat bahwa tim litbang surat kabar itu adalah “ICMI muda dengan pemikiran yang moderat, yang percaya bahwa bangsa ini harus dididik untuk memahami Islam yang toleran.” Dia menambahkan, “Orang bilang ini tim impian Republika karena mereka para pemikir muda yang secara umum mirip Nurcholish Madjid. Mereka sesuai dengan alirannya.” Daru melanjutkan, “Istilah ‘Islam kosmopolitan’ sering dipakai dalam percakapan-percakapan kami. Jenis Islam yang berusaha kami layani dengan Republika adalah kosmopolitan dan urban. Kami menginginkan masyarakat Islam yang berpendidikan, berpikiran terbuka, dan memahami nilai-nilai Islam. Dan, yang tidak terburu-buru menyebut orang lain kafir! Namun, kami gagal karena ada terlalu banyak tekanan dari kelompok-kelompok Islam.”

Masalah yang timbul ketika menjadi surat kabar ICMI adalah semua orang mengira mereka berhak atau memiliki sebagian dari lembaga tersebut, termasuk kelompok konservatif seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang tak suka pada jenis-jenis artikel dan tulisan opini di surat kabar itu. DDII mewakili aliran politik konservatif dengan asal-usul intelektual dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang dahulu dilarang, terutama karena pemikiran Mohammad Natsir (Hefner 1997b, 80–81). “Selama 1 atau 2 tahun, Republika diterbitkan dengan visi yang lebih terbuka, moderat, dan terkadang bahkan tampak sekuler,” ujar Daru. “Namun, kelompok-kelompok garis keras merasa bahwa Republika harus menjadi surat kabar mereka. Ketika melihat tulisan yang dibuat Republika, mereka bilang, ‘Bukan itu yang kami inginkan. Bukan ini yang kami inginkan!’ Dan, ada beberapa tulisan editorial yang membuat kelompok ini marah.”

Editorial semacam itu ditulis oleh Hamid Basyaib, belakangan menjadi salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL). Dia berkomentar tentang kematian seorang penyanyi muda Indonesia yang cantik pada 1995, Nike Ardilla. Menurut Daru, ketika Hamid mengakhiri artikel sambil berharap Nike kini tidur dengan damai di sisi Tuhan, reaksi masyarakat segera muncul. “Bagi kami, generasi pertama Republika, tidak ada masalah dengan kalimat ini. Namun, bagi orang lain, mereka marah! Bagaimana mungkin Anda menulis kalimat yang mengatakan Tuhan tidur dengan seorang perempuan? Mereka marah! Ini bukan surat kabar yang kami inginkan, begitu kata mereka! Jadi, kami pun didemo.”

Lihat selengkapnya